BY ; ERWIN NOGORI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ibadah berqurban adalah antara amalan mulia dan
penting dalam Islam karena amat besar fadhilatnya, tetapi sayangnya masih
banyak orang yang samar-samar atau kabur kefahaman menerka mengenainya,
sehingga ada yang memandang ringan walaupun mempunyai kemampuan tetapi tidak
mahu melakukan penyembelihan qorban dan aqiqah ini.
Begitulah masalah berqurban yang akan coba kita
jelaskan. Semoga dengan penjelasan yang serba sedikit ini dapat membantu
kefahaman kita semua tentang ibadah Qurban serta keinginan untuk sama-sama
mencari pahala kedua ibadah ini akan meningkat. Dan semoga memberi kefahaman
yang jelas hingga kita dapat menghayatinya dengan penuh keimanan kerana
menjunjung perintah Allah s.w.t. dan mendapat fadhilat daripada amalan yang
akan kita lakukan ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian kurban?
2.
Apakah hukum kurban?
3.
Apakah keutamaan kurban?
4.
Kapan Waktu dan Tempat kurban ?
5.
Seperti apa Jenis Hewan Kurban dan
alat penyembelihan ?
6.
Bagaimana Teknik Penyembelihan Hewan
Kurban ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian kurban.
2.
Mengetahui hukum kurban.
3.
Mengetahui keutamaan kurban.
4.
Mengetahui Kapan waktu dan tempat
kurban.
5.
Mengetahui Jenis kurban dan alat
penyembelihan qurban.
6.
Mengetahui Bagaimana Teknik
Penyembelihan Hewan Kurban.
D. Kegunaan
Penelitian
1. Bagi
Penulis
Bagi
penulis, seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat lebih
memantapkan penguasaan keilmuan yang dipelajari selama mengikuti pembelajaran
di sekolah.
2. Bagi
Sekolah
Bagi
Sekolah, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen sekolah yang berguna
untuk dijadikan acuan bagi siswa lainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qurban
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab
qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) –
qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam,
1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan
maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan
istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata
ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan
untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash
Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan
kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai
taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155;
Al Jabari, 1994).
B. Dasar
Hukum Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy
Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya
berkata, “Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib,
baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan
(musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al
Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik— mengatakan qurban hukumnya wajib.
Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan
ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah
terpenuhinya kebutuhan pokok ( al hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan,
dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi
seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban
(Al Jabari, 1994)
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT
:
“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah. ” (TQS Al Kautsar : 2)
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih
qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia
tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah
(indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi
“wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan
untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi
an nahri wa huwa sunnatun lakum ” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban,
sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni ” kutiba
‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban
dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang
ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan
keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah
wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i
et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban,
hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak
berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR.
Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim,
hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa”
(janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan
(dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang –yang tak berqurban padahal mampu–
untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang
sangat/berat (dzamm syanii’ ) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min
‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati
jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah
berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung
hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al
Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi
nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan
maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. ” (lihat Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika
membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah, ” atau “Ini binatang
qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
C. Keutamaan
Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah
SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :
“Tidak
ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain
menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz
Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban,
aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada
shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).
Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi
setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :
“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu.
Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah
kaulakukan.. .” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)
D. Waktu dan
Tempat Qurban
1. Waktu
Qurban
dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari
Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila
disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa
menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya
ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban
sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah
menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan)
Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda
Nabi SAW :
“Semua
hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih
qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Menyembelih
qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang
telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh.
Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad,
Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984)
Perlu
dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang
dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat
Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991).
Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia
saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah
waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka
keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
2. Tempat
Diutamakan,
tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana
kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat
demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga
mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin
Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan
hewan (Abdurrahman, 1990).
E. Hewan
Qurban dan Alat nya
1. Jenis
Hewan
Hewan
yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba).
Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh
dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman :
“…supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah
direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)
Dalam
bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi,
dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).
Prof.
Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban
dengan kerbau ( jamus), sebab disamakan dengan sapi.
2. Jenis
Kelamin
Dalam
berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan,
sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban
dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin
(Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
3. Umur
Sesuai
hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba
berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun
masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud
Yunus, 1936).
4. Kondisi
Hewan
yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau
cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah.
Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan
(Rifa’i et.al , 1978)
Berdasarkan
hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :
1) yang
nyata-nyata buta sebelah,
2) yang
nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
3) yang
nyata-nyata pincang jalannya,
4) yang
nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
5) yang
tidak ada sebagian tanduknya,
6) yang
tidak ada sebagian kupingnya,
7) yang
terpotong hidungnya,
8) yang
pendek ekornya (karena terpotong/putus) ,
9) yang
rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).
Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab
Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan
telah dikebiri ( al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
“Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Alat – Alat Untuk Penyembelihan Qurban
Terbuat
dari :
·
batu,
·
bambu,
·
besi, dan
·
benda logam lainnya
Tidak
Terbuat Dari
·
kuku,
·
gigi, dan
·
tulang.
F. Teknis
Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :
1) Hewan yang akan dikurbankan
dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke
arah kiblat, diiringi dengan membaca doa ” Robbanaa taqabbal minnaa innaka
antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami
ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
2) Penyembelih meletakkan kakinya yang
sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya
atau meronta.
3) Penyembelih melakukan penyembelihan,
sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah,
Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para
penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”)
4) Kemudian penyembelih membaca doa
kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka.
Allahumma taqabbal min ….” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya
Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah
dari….) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang
berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan
kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu
(Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun
penyembelihan, yaitu :
1) Adz Dzaabih (penyembelih) , yaitu
setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun).
Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab
Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak
sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al
Jabari, 1994).
2) Adz Dzabiih, yaitu hewan yang
disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
3) Al Aalah, yaitu setiap alat yang
dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi,
tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang
hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
4) Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya
itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari`
(saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan
sebuah amanah penting : hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban
karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir
dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar
dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli
rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa
kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman :
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang
mencapainya. ” (TQS Al Hajj : 37)
B. Saran
·
Orang
yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengancara halal tanpa
berutang.
·
Kurban
hendaknya binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.
·
Binatang
yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang,
tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh.
No comments:
Post a Comment