Search This Blog

Saturday, 4 November 2017

HUKUM KERAPATAN ADAT TAMBUSAI



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Adat  istiadat  merupakan  salah  satu  perekat  sosial  dalam  kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari masyarakat yang beraneka ragam suku, budaya, agama serta mempunyai adat istiadat yang berbeda-beda. Namun mereka tetap bersatu di dalam kebhinekaannya menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Republik Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistemagama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaianbangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Kecamatan Tambusai berasal dari Nama Kerajaan Tambusai pada masa Kolonial Belanda. Dimasa kerajaan Tambusai yang diperintah oleh raja yang ke XIV yakni Sri Sulthan Ibrahim yang diberi gelar Duli yang dipertuan besar. Pada masa pemerintahan nya Agama Islam sangat berkembang pesat disepanjang sungai Rokan yang disiarkan oleh Mubaligh-mubaligh yang datang dari  Aceh. Walaupun pengaruh Agama Hindu  masih terasa dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam upacara-upacara adat. Namun agama Islam sangat diterima oleh masyarakat.
Luhak Tambusai konon disebut sebgai luhak tertua, dimana cikal bakal terjadinya luhak kepenuhan, Rambah dan Kunto Darussalam. Awal berdirinya kerajaan Tambusai di Karang Besar, lalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, ada yang menyebutkan sampai 16 kali perpindahan, sehingga kerajaan tersebut tiada tenang dan timbul kerugian-kerugian karena perilaku berkumpul lalu bubar atau usai, begitu seterusnya akibat berpindah-pindah. Dari peristiwa berpindah-pindah lalu berkumpul, berpindah lagi, berkumpul lagi maka disebutlah kerajaan ini Tambusai yaitu dari asal kata tambun (berhimpun atau berkumpul), usai (pindah atau bersebar) menjadilah Tambun-usai, disebut juga dengan Luhak tambusai panggilan pada masyarakat adat sekarang.
Sebagai suku yang terletak di Daerah perbatasan Provinsi, Kecamatan Tambusai tentu memiliki beragam suku bangsa walaupun awalnya suku Melayu di mana Sistem kekerabatan etnis Melayu adalah matriakat, atau garis keturunan dari garis ibu. Pada umumnya pola pikir suku Melayu ingin anak kemenakannya itu setara dengan suku-suku lain, susunan keluarga diatur oleh perempuan, sehingga perempuan yang memegang peranan, dari dasar perempuan yang menyusun kekerabatan tadi itulah yang diikuti yang disusun adalah anak-anak yang kira-kira mampu memegang keutuhan suku artinya dengan suku-suku pendatang itulah masing-masing mencari jati dirinya, ada juga karena facktor keturunan itu dibarengi dengan pendidikan. Dalam sistem kekerabatan etnis Melayu ada yang dikenal dengan Datuk Suku (Kepala Suku) yaitu pimpinan suku, mamak (Adik dari Ibu).
Selain itu suku Melayu juga ada etnis mandailing yang sudah cukup lama menghuni Tambusai, mereka masuk ke Tambusai pada masa yang dipertuan raja ke VII kerajaan Tambusai, setelah raja tua, maka tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang pertama Tengku Raja Muda, sementara pada kerajaan Padang Gelugur yang diperintah oleh Sutan perempuan (Raja Wanita) sedang terjadi perang saudara sehingga mereka mengalami kekalahan lalu turun kebawah meninggalkan kerajaan Gelugur yang membawa dua orang cucu yaitu anak keenam dari ketujuh dari Barora yaitu sutan Tua Raja Sulot, dan adiknya Sutan Namora Raja (panyulot) dan tujuh keluarga/marga.
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja berbeda di suku Batak lainnya, yang mengenal hampir  500 marga.
Upacara Adat saat ini yang sering dilakukan masyarakat mandailing adalah: (1) Upacara Adat Siriaon/Horja Haroan Boru/Pabuat Boru(Upacara Adat Perkawinan), (2) Upacara Adat Siluluton/Mambulungi (Upacara Adat Kematian) dan (3) Horja Siulaon (Upacara Adat Berkarya).
Etnis Jawa datang ke Rokan Hulu didasarkan pada program transmigrasi dan ada juga yang merantau sendiri-sendiri seperti ada yang datang dari Medan (Sumatera Utara) yang merupakan bawaan tentara Jepang yang dijadikan kuli atau buruh kontrak, berhubung tentara Belanda keluar dari Rokan Hulu dan adanya informasi tanah yang tidak bertuan, ada juga etnis yang datang ke Rokan Hulu sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang atau empat orang (kelompok kecil) sebagian besar dari Jawa Timur, Pacitan. Informasi di daerah dari kerabat-kerabat pada tahun 1995 etnis Jawa sudah datang ke Rokan Hulu. Pada saat gerakan PRRI pada tahun 1958 etnis Jawa sudah membuat suatu perkampungan di kawasan Rokan Hulu yang disebut dengan Kampung Jawa.
Pemukiman tiap-tiap etnis pada saat ini dapat dikatakan sudah terjadi pembauran yang cukup besar yang tentunya sudah masuk ke Tambusai, hal ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya semakin kompleksnya kebutuhan atau kepentingan-kepentingan dari etnis-etnis yang ada, faktor ekonomi, hubungan sosial masyarakat, transportasi dan komunikasi walaupun demikian masih terdapat pemukiman-pemukiman yang dominan oleh etnis-etnis tertentu. Adapun adat istiadat orang jawa menganut paham patrilinial dimana sang anak mengikuti garis keturunan ayahnya.

1.2.        Rumusan Masalah

1.      Bagaimakah Sejarah Kec. Tambusai ?
2.      Darimanakah Asal Nama – nama Lima Luhak ?
3.      Bagaimanakah Adat Istiadat Perkawinan  di Kec. Tambusai ?

1.3.       Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui Sejarah Kec. Tambusai.
2.      Untuk mengetahui Asal Nama Lima Luhak yang ada di Kec. Tambusai.
3.      Menambah Ilmu Pengetahuan tentang Adat Istiadat Perkawinan di Kec. Tambusai.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Sejarah Kecamatan Tambusai
Kecamatan Tambusai berasal dari Nama Kerajaan Tambusai pada masa Kolonial Belanda. Dimasa kerajaan Tambusai yang diperintah oleh raja yang ke XIV yakni Sri Sulthan Ibrahim yang diberi gelar Duli yang dipertuan besar. Pada masa pemerintahan nya Agama Islam sangat berkembang pesat disepanjang sungai Rokan yang disiarkan oleh Mubaligh-mubaligh yang datang dari  Aceh. Walaupun pengaruh Agama Hindu  masih terasa dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam upacara-upacara adat. Namun agama Islam sangat diterima oleh masyarakat.
Karena agama Islam sudah dianut oleh masyarakat di kerajaan Tambusai, maka disetiap Kerapatan Negri, Raja dan para Staf nya bersidang  selalu mengikut sertakan golongan Agama. Dimana golongan agama ini disebut sebagai Imam. Pada masa pemerintahan raja yang diberi gelar  Imam ini adalah Imam Maulana Kali, yang berasal dari Kerajaan Rambah yang tidak jauh dari Kerajaan Tambusai.
Imam maulana Kali memiliki seorang Istri yang bernamaa Munah yang  berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Dan memiliki seorang putra yang bernama Muhammad Saleh. Dimana Muhammad saleh ini lah yang disebut Tuanku Tambusai . Yang lahir di Dalu-Dalu Pada Tanggal 5 November 1784. Dan dikenal sebagai Pahlawan Nasional dari Riau.
Tuanku Tambusai memiliki  bukti sejarah Benteng tujuh lapis yang berada di  Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai sekitar 23 km dari makam raja-raja Rambah atau 35 Km dari Ibukota Kabupaten Rokan Hulu. Benteng tanah yang dibuat masyarakat dalu-dalu pada zaman penjajahan Belanda, atas petuah Tuanku Tambusai di atas bumbun tanah ditanam bambu atau aur berduri. Di sekitar daerah dalu-dalu ini juga terdapat beberapa benteng-benteng yang disebut Kubu.
Benteng ini terdiri dari tujuh lapis dengan gundukan tanah mencapai tinggi 11 meter yang ditanam AUO Duri (Bambu Berduri), tahun 1838 – 1839. Letkol Michele datang ke Dalu-dalu untuk menaklukkan benteng, akhirnya benteng dapat dikuasai, dan Tuanku Tambusai bersamaan dengan sebagian prajurit meninggalkan benteng pada tanggal 28 Desember 1839 menuju Negeri Sembilan Malaysia melalui sungai Batang Sosah yang persis berada di pinggiran Benteng Tujuh lapis. Dan beliau meninggal di Negri Sembilan Malaysia.
Karna kegigihan perjuangan Tuanku Tambusai oleh Belanda diberi gelar kepadanya ”De Padrische Tijger Van Rokan” berarti Harimau Padri dari Rokan. Selain Tuanku Tambusai Sultan Zainal Abidin juga pernah menggunakan Benteng ini dalam melawan pemberontak negeri. Sekarang Benteng ini sudah tidak terlihat bentuk aslinya.
Benteng Tujuh Lapis bertembok tebal, kokoh tujuh lapis, diperkuat dengan tanaman bambu berduri (aur duri) dan parit sedalam sepuluh meter. Benteng ini luasnya menyamai sebuah kampung. Dengan nilai perjuangan yang melekat pada benteng ini, menjadikannya sebagai salah satu objek wisata budaya dan peninggalan sejarah perjuangan masyarakat Riau menentang penjajah.
Kecamatan Tambusai dahulunya  sejak Indonesia Merdeka sudah ada, tapi pada waktu itu Kecamatan Tambusai masih berinduk di Kabupaten Kampar. pada saat sekarang sudah berada di Kabupaten Rokan Hulu dengan ibukota Pasir Pengaraian, karna terjadi pemekaran  Kabupaten Rokan Hulu dengan proses yang sangat panjang maka pada tahun 1999 lah baru dapat diwujudkan.
Setelah Indonesia merdeka Tahun 1945, wajah Rokan Hulu mulai berubah. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 9 November 1949 Nomor 10/GM/STE/49, kewedanaan Pasir Pengarayan dimasukkan kedalam wilayah Kabupaten Kampar dengan ibu kota Pekanbaru.  Selain itu, tiga daerah lain, yaitu Pelalawan, Bangkinang, dan Pekanbaru luar kota, ikut masukkan menjadi kewedanaan. berada di Kabupaten Kampar.
 Pada masa itu, Kabupaten Rokan Hulu yang dimulai dari keinginan masyarakat Kabupaten Rokan Hulu khususnya para tokoh untuk membentuk sebuah Kabupaten sudah lama muncul, hal ini  terbukti dari beberapa dokumen sejarah, Salah satu dokumen sejarah itu adalah rekomendasi hasil musyawarah besar (Mubes) masyarakat Rokan Hulu di Pasir Pengarayan yang dilaksanakan pada tahun 1962 silam, pertemuan itu dihadiri oleh para petinggi di masing-masing luhak yang ada di Rokah Hulu. Rekomendasi dari Mubes tersebut adalah agar daerah Eks Wedanaan Pasir Pengarayan ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten daerah TK II Rokan Hulu, namun akhirnya kandas karena kuatnya rezim yang berkuasa pada saat itu, tidak ada pemekaran wilayah, Pada masa itu Kecamatan Tambusai sudah terbentuk dengan ibu kota Dalu-Dalu, dengan Kabupaten Kampar. dan selang lebih kurang 6 tahun kemudian keinginan itupun muncul kembali pada Musyawarah Besar tahun 1968, namun lagi-lagi gagal untuk mewujudkan Kabupaten.
Keadaan ini bertahan cukup lama sampai terbit Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 821.26.525, tanggal 26 Mei 1997. Pemerintah menetapkan Rokan Hulu sebagai wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah I. Itulah setidaknya yang menjadi cikal bakal Kabupaten Rokan Hulu berkenalan dengan system administrasi Negara. Dua tahun kemudian, perubahan yang cukup signifikan kembali terjadi. Seiring dengan maraknya gelombang reformasi di segala bidang, dan otonomi daerah di canangkan, banyak tokoh Rokan Hulu yang menuntut status tersendiri bagi daerahnya. Tokoh-tokoh Rokan Hulu menghendaki wilayahnya terpisah dari kabupaten Kampar. Mereka berpendapat, jika Rokan Hulu terpisah dari Kabupaten Kampar,  kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan. Apalagi, jarak ibu kota Kabupaten Kampar dengan Rokan Hulu relatif cukup jauh sehingga menjadi kendala serius bagi pembangunan Kabupaten Rokan Hulu.
Tak hanya itu, faktor historis juga berperan sebagai pendorong keinginan masyarakat Rokan Hulu untuk berdiri sendiri. sebab, daerah Rokan Hulu adalah eks kewedanaan Pasir Pengarayan dan telah berdiri sendiri. Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, daerah Rokan Hulu pernah menjadi daerah otonom dengan pemerintahan Kerajaan Rokan, sedangkan Dari sisi kebudayaan, Rokan Hulu juga punya alasan untuk berdiri sendiri. Rokan Hulu memiliki kultur, bahasa, serta adat istiadat yang berbeda dari induknya. Dan, yang paling utama, factor ketertinggalan, baik dari segi pengembangan sumber daya manusia (SDM) maupun pengelolaan sumber daya alam (SDA), dibandingkan dengan daerah lain di Riau. Akhirnya berimbas pula pada rendahnya tingkat perkembangan perekonomian masyarakat. Tokoh-tokoh intelektual dan masyarakat Rokan Hulu menyadari, hanya dengan adanya kabupaten tersendiri, berbagai ketertinggalan itu dapat dikejar. Keinginan yang begitu menggebu dari para tokoh, yang didukung semua lapisan masyarakat Rokan Hulu, akhirnya diresponspemerintah pusat.
Seiring datangnya era reformasi di Indonesia membuat kesempatan untuk membentuk sebuah kabupaten itu terbuka lebar. Proses teknis pembentukan Kabupaten Rokan Hulu diawali dengan masuknya usulan pembentukan Kabupaten. Panitia pembentukan Kabupaten Rokah Hulu bekerja keras siang dan malam, sehingga pada tanggal 16 Mei 1999 panitia telah dapat menyampaikan aspirasi masyarakat Rokan Hulu ke DPRD Kbupaten Kampar yang berjumlah 210 lembar aspirasi yang berasal dari berbagai elemen masyarkat: Ninik mamak/pemangku adat, Ulama, Cendikiawan, Pemuka masyarakat, Tokoh Pemuda, pemimpin organisasi kemasyarakatan. Selain itu disampaikan pula Aspirasi masyarakat tersebut kepada Bupati Kampar, Gubernur Riau dan DPRD  Propinsi Riau di Pekanbaru.Dengan berbagai pertimbangan yang matang, Gubernur Riau dengan surat nomor : 135/TP/1303 tanggal 3 juni 1999 yang ditujukan kepada Bupati Kampar perihal usulan Kabupaten Rokah Hulu dan Pelalawan yang intinya meminta kepada Bupati Kampar untuk menyampaikan pertimbangan dan pendapatnya atas pemekaran kabupaten tersebut, dengan surat Gubernur diatas, DPRD Kabupaten Kampar memberikan Apresiasi yang positif terhadap pemekaran tersebut, sehingga pada tanggal 8 Juni 1999 mengusulkan ke Menteri Dalam Negeri tentang persetujuan pemekaran Kabupaten Kampar yang menyebutkan bahwa wilayah Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari 7 kecamatan, ( kecuali Desa Tandun, Desa Aliantan, dan Desa Kabun), munculnya kata Kecuali dalam Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 disebabkan oleh surat DPRD Kampar yang kedua tersebut.
Dengan desakan berbagai elemen masyarakat, akhirnya Gubernur Riau dan DPRD Propinsi Riau menyampaikan usulan kepada Pemerintah Pusat, sehingga Pemerintah Pusat menerbitkan RUU nomor 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Pelalawan, Rokab HIlir, Siak, Karimun, Natuna, Kuantan Singingi dan kota Batam. Akhirnya pada tanggal 4 Oktober 1999, Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 disetujui, maka secara yuridis sejak itulah Kabupaten Rokan Hulu berdiri sebagai Kabupaten otonom, namun baru diresmikan oleh Pemerintah sebagai Kabupaten Rokan Hulu dan 7  Kabupaten lainnya di riau pada tanggal 12 Oktober 1999.  Maka sejak itulah secara de facto maupun de yure Kabupaten Rokan Hulu resmi menjadi sebuah daerah Otonom dengan ibu kota Pasir Pengarayan. Kemudian diperkuat lagi dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 010/PUU-1/2004, tanggal 26 Agustus 2004 yang menjadikan Desa Tandun, Desa Aliantan, dan Desa Kabun sebagai bagian dari Kabupaten Rokan Hulu.
Sampai saat ini  telah dipimpin oleh beberapa orang Bupati yaitu : H. Nurhasyim, SH (Pj. Bupati Pertama), Drs. H.Ahmad (Pj. Bupati kedua), Kemudian H. Ramlan Zas, SH.MH dan Drs. H.Auni M Noor sebagai Bupati dan Wakil Bupati untuk Masa Jabatan 2001-2006, selanjutnya Drs. H.Ahmad , Msi. Dan H. Sukiman sebagai Bupati dan Wakil Bupati untuk Masa jabatan 2006-2011 selanjutnya untuk masa jabatan 2011-2016 dipimpin oleh Pasangan sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih yakni Drs. H.Ahmad, M.Si dan Ir.H.Hafith Syukri, MM dan untuk masa jabatan 2016-2021 dipimpin oleh pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih yakni Suparman, S.Sos. M.Si dan H. Sukiman. Sedangkan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Rokan Hulu untuk masa jabatan 2000-2004 yaitu Ali Lius-Masgaul Yunus,SH,MH-Ruslan Abdul Gani-Sukiman, untuk masa jabatan 2004-2009 yaitu Teddy Mirza Dal - H.Syafaruddin Poti,SH - H.Hasanudin Nst,SH dan pimpinan untuk masa jabatan 2009-2014 yakni H.Hasanudin Nst,SH - Nurkhalis,SE-Erizal,ST dan pimpinan untuk masa jabatan 2014-2019 yakni Nasrul Hadi, ST. MT-Kelmi Amri, SH
Kecamatan Tambusai memiliki jumlah penduduk ± 41.799 jiwa dengan kepadatan penduduk dengan rata-rata 37 jiwa / KM2. Sedangkan batas – batas wilayah kecamatan Tambusai adalah :
·         Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Tambusai Utara
·         Sebelah selatan berbatas dengan Kecamatan Rambah Hilir dan Kecamatan Bangun Purba
·         Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Kepenuhan
·         Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Huta Raja Tinggi Kabupaten Padang Lawas Propinsi Sumatra Utara



2.2.    Asal Nama-nama Lima Luhak
Luhak artinya kelompok kampong terbesar disebuah kerajaan, ada lima luhak dan dua kewalian di Rokan Hulu pada zaman terbentuknya kerajaan-kerajaan kecil ini setelah runtuhnya kerajaan Roka Tua yaitu : Luhak Tambusai, luhak Rambah, luhak kepenuhan, luhak Kunto Darussalam, Luhak Rokan IV Koto, kewalian Tandun, kewalian Kabun. Konon cerita terbentuknya nama luhak ini disebabkan perlakuan dari kerajaan  berdirinya kerajaan-kerajaan itu.
1.      Luhak Tambusai
Luhak Tambusai konon disebut sebgai luhak tertua, dimana cikal bakal terjadinya luhak kepenuhan, Rambah dan Kunto Darussalam. Awal berdirinya kerajaan Tambusai di Karang Besar, lalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, ada yang menyebutkan sampai 16 kali perpindahan, sehingga kerajaan tersebut tiada tenang dan timbul kerugian-kerugian karena perilaku berkumpul lalu bubar atau usai, begitu seterusnya akibat berpindah-pindah. Dari peristiwa berpindah-pindah lalu berkumpul, berpindah lagi, berkumpul lagi maka disebutlah kerajaan ini Tambusai yaitu dari asal kata tambun (berhimpun atau berkumpul), usai (pindah atau bersebar) menjadilah Tambun-usai, disebut juga dengan Luhak tambusai panggilan pada masyarakat adat sekarang.
Ada pula yang mengatakan Tambusai itu adalah darikata tombusan sebuah lobang tembusan antara sungai Sosah dan sungai Batang Lubuh dimana tempat ini adalah jalur penghuni sungai Rokan yaitu Sutan Ponyalinan berlalu lalang, suatu ketika terjadi kehilangan dikalangan keluarga raja, dimana seorang anak gadisnya telah hilang saat mandi di sungai sosah, sudah puas mencari akhirnya anak gadis itu ditemui disebuah lobag dengan keadaan tidak kotor dan segar bugar.ditanyailah gadis itu, darimana saja tuan putrid menghilang selama tiga hari. Putrid menjawab, aku bertamasya bersama seorang pemuda gagah bernama sutan Ponyalinan, ia membawaku ketiga tempat yang indah ang tiada pernah kulihat selam ini. Apa yang diperbuat sutan Ponyalinan itu terhadap dirimu, Tanya keluarga lainnya. Tida terjadi apa-apa hanya melancong saja, dan makan bersama bersama keluarga beliau, katanya hari itu adalah hari terjadinya sungai Rokan, dan mereka mengadakan rapat paripurna dibentuknya daulat-daulat Rokan kanan dan Rokan Kiri. Dengan rasa penasaran pertanyaan terus diberikan kepada tuan putri, siapa pemimpin mereka, saya hanya berjabat tangan dan beliau menyebutkan namanya, beliau bernama Tuk Saih Panjang Jangguik.
Demikianlah perjalanan tamasya tuan putrid kesebuah tombusan sehingga dengan petunjuk dari tuan putrid dibuatlah nama kerajaan Tombusai yang sekarang disebut Luhak Tambusai.
Suku-suku yang ada di Luhak Tambusai ini dahulunya adalah Melayu, Ampu, Kuti, Kandang Kopuoh, Soborang, Pungkuik, Mais, Bonuo, dan monoiliang dengan Gelar Datuk dari 9 suku tersebut yaitu :
  1. Suku Melayu dengan gelar Datuk Pusako Rangkayo Naro
  2. Suku Ampu dengan gelar Datuk Sinaro Mudo
  3. Suku Kuti dengan gelar Datuk Paduko Jo Sianso, Datuk Paduko Laksmano atau Datuk Paduko Jo Lelo
  4. Suku Kandang Kopuh dengan gelar Datuk Kuti Anso
  5. Suku Soborang dengan gelar Datuk Rangkayo Maharajo
  6. Suku Pungkuik dengan gelar Datuk Rangkayo Morajo
  7. Suku Maih dengan gelar Datuk Tomogong Kayo
  8. Suku Bonuo dengan gelar Datuk Bonuo Ampu
  9. Suku Muniliang dengan gelar Datuk Paduko Tuo

2.      Luhak Rambah
Setelah berkembang kerajaan ini dan melakukan perambahan dengan cara merambah hutan, tepatnya di sungai Kumpai, desa kumu sekarang, 12 km dari Pasirpengaraian, maka berdirilah kerajaan Rambah dengan dinobatkan seorang anak raja dari Tambusai bernama Tengku Tunggal Kuning atau yang dipertuan muda. Maka tersohorlah kerajaan ini dan dibuat karang janji yan mengatur kehidupan kerajaan kedua belah pihak.
Akhirnya masa sekarang disebut dengan luhak Rambah. Adapun suku yang beradat ke luhak Rambah adalah Melayu, Ampu, Pungkuik, Kandang Kopuh, dan Kuti.
3.      Luhak Kepenuhan
Kerajaan ini terbentuk semasa kerajaan Tambusai dibawah kekuasaan yang dipertuan tua (raja ke-7) berawal kedatangan sejumlah rombongan memasuki sungai Rokan, lengkap dengan orang-orang besarnya, mula-mula hendak menetap di kuala batang sosa, mengutus 11 orang dari kelompok tersebut menghadap raja Tambusai
Permohonan dari wakil 11 tersebut diterima dengan izin untuk sekedar berkebun dan berladang, namun ada gejala perpecahan. 7 pihak ingin tinggal di Batang Sosa sedangkan 4 pihak ingin pindah ke pulau Lontar, selain perpecahan kelompok yang tujuh dimasa itu terjadi kekejaman dan kezaliman pada kelompok yang tujuh.
Kata-kata kepenuhan dimabil dari istilah “keponohan” yang mana didaerah ini telah banyak kelompok-kelompok pendatang yang memenuhi tempat ini sehingga disebutlah terbentuklah kerajaan kepenuhan.
Ada[un suku yang beradat disini adalah suku Melayu, suku Moniliang, suku Pungkuik, suku Kandang Kopuh ,suku Mais, suku Kuti, suku Ampu
4.      Luhak Kunto Darussalam
Kunto Darussalam banyak dipengaruhi oleh kerajaan Siak Sri Indrapura, sehingga nama-nama Kunto Darussalam adalah nama-nama kota Islam dimasa itu. Adapun suku yang beradat disini kebanyakan suku Melayu, Moniliang, dan Pukomo.
5.      Luhak Rokan IV Koto
Kerajaan Rokan di negeri Rokan IV Koto pada awalnya tumbuh tiada hubungan dengan kerajaan Tambusai, menurut riwayat mereka mengambil keturunan raja dari Pagaruyung melalui Padang Nunang Rao.
Pelopor pertama memasukkan ajaran Islam kedaerah ini adalah Sultan Harimau dari kerajaan Kunto Darussalam, negeri asal terletak diatas suatu bukit diantara Lubuk Bendahara dengan negeri Rokan.
Tempat inilah mulanya ajaran Islam dipusatkan, suatu tempat belajar ibadah sehingga disebut teluk sembahyang.
Daerah yang terbesar pada mulanya adalah Rokan, Pendalian, Sekebau, dan Lubuk Bendahara. Nama-nama ini dalam adat besarnya sesuai denga urutannya, itulah sebabnya asal bermula sampai dinamakan Negeri Rokan IV Koto.
Kedudukan raja dimasa itu ditempatkan di Rokan, tetapi Lubuk Bendahara merupakan tempat yang ramai disinggahi pedagang dari Sumatera Barat. Adapun suku yang beradat disini adalah suku Mais, suku Bendang, suku Melayu Pokomo, suku Caniago, suku Petopang, suku Moniliang dan Pongolu Pasa (pemerintah dalam hal penanggung jawab sebelum masuk suku)
Adapun asal usul lima luhak tersebut dalah ujud dari pelancongan yang dilakukan tuan putrid kerajaan Tambusai yang mengikuti siding paripurna pembentukan daulat dua wilayat tersebut. Adapun tiga tempat itu adalah sungai Rokan Kanan, sungai Rokan Kiri, dan sungai Sosa. Sungai Sosa dan sungai Rokan Kanan berdaulat  menjadi Okan Kanan, sedangkan Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto berdaulat kepada Rokan Kiri.

 

2.3.   Adat Istiadat Perkawinan

Sebagai daerah yang masuk ke wilayah Riau Tambusai tentu didominasi oleh suku Melayu dimana sistem kekerabatan etnis Melayu adalah matriakat, atau garis keturunan dari garis ibu. Pada umumnya pola pikir suku Melayu ingin anak kemenakannya itu setara dengan suku-suku lain, susunan keluarga diatur oleh perempuan, sehingga perempuan yang memegang peranan, dari dasar perempuan yang menyusun kekerabatan tadi itulah yang diikuti yang disusun adalah anak-anak yang kira-kira mampu memegang keutuhan suku artinya dengan suku-suku pendatang itulah masing-masing mencari jati dirinya, ada juga karena facktor keturunan itu dibarengi dengan pendidikan. Dalam sistem kekerabatan etnis Melayu ada yang dikenal dengan Datuk Suku (Kepala Suku) yaitu pimpinan suku, mamak (Adik dari Ibu).
Adat istiadat etnis Melayu pada saat terdiri  dari kesenian, seperti pencak silat berfungsi menjaga diri, acara nikah, kemudian Gondang berogong. Umumnya pakaian adat melayu Rokan Hulu sama dengan Melayu Riau, kaluarga yang laki-laki pakai teluk belangan, pakai songket kalau perempuan pakai songket dan kebaya panjang kemudian ada sanggul di atasnya kemudian celempang kalau warna pakaian kuning biasanya diumpamakan raja sehari, pakaian adat warna hitam, warna hitam melambangkan ia mempunyai kekuatan adat yang dipercayai oleh anak kemenakan, untuk bangsawan warna pakaiannya berwarna kuning. Jadi kalau dalam tata cara pernikahan suku melayu Rokan Hulu pertamanya itu ada namanya sulu-sulu ayia. Maksud sulu-sulu ayia itu, maksudnya orang di sungai itu sambil mencuci ibu-ibu membicarakan anak orang dengan anak orang lain yang dianggap sudah pantas untuk menikah, bila tahap pertama tadi berkembang maka tugas laki-laki mendatangi pihak perempuan untuk membicarakan rencana lamaran, maka dilakukanlah musyawarah atau kesepakatan keluarga, kalau setuju sepakat ikut mamak yaitu adik ibu, cocok lagi baru ke mamak kedua belah pihak begitu lalu naik lagi satu tingkat lagi ke acara pertunangan, tunangan disuruh kumpulan kedua belah pihak keluarga tadi untuk membcarakan rencana lamaran, maka dilakukan musyawarah atau kesepakatan keluarga, kalau setuju tingkat lagi sepakat ikut mamak yaitu adik ibu, cocok lagi baru ke mamak adat kedua belah pihak begitu lalu naik lagi satu tingkat lagi ke acara pertunangan, tunangan disuruh kumpulah kedua belah pihak keluarga tadi untuk membicarakan kalau disitu isinya kapan hari pernikahannya dilaksanakan, berlanjut ke tahap padan janji itu adalah hasil mufakat antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan tadi bahwa anak kita ini akan dinikahkan bila terjadi persetujuan tinggal penentu hari baik, kemudian pembacaan ijab Kabul dan acara peresmian pengantin laki-laki pergi ketempat perempuan dan tempat perempuan disambut pengantin laki-laki dengan acara gondang berogong dan pencak silat, sementara laki-laki diiringi dengan dengan kesenian rebana burdah ke tempat perempuan. Sampai ditempat perempuan disambut oleh pihak perempuan dengan gondang berogong, kemudian diarak pengantin laki-laki sebelumnya diawali dengan pantun barulah dibenarkan si mempelai laki-laki masuk yang terlebih dahulu harus membayar cukai negeri. Kalau sudah dibayar barulah pihak laki-laki ini bisa masuk ke pelaminan perempuan dalam persandingan acaranya, yaitu tepung tawar. Yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana bahan tepung tawar terdiri dari air limau, kemudian beras tepung yang warnanya empat macam. Pertama hitam, kedua kuning, ketiga biru, keempat putih, jadi kalau yang hitam yang akan menepung tawarkan ini bagian tokoh atau kelompok adat yang hitam, sementara warna kuning diperuntukkan bagi penguasa atau orang pemerintahan, warna biru untuk orang banyak, dan warna putih untuk alim ulama, keesokan harinya datanglah utusan dari perempuan untuk menjemput pengantin laki-laki, ada yang dijemput ditengah jalan, sesuai dengan hasil mufakat, ada yang tidak pakai jemput atau datang langsung.
b.Adat Pergaulan Kekerabatan
Dalam interaksi sosial budaya pada kehidupan masyarakat etnis Melayu dilandasi oleh adat istiadat yang kental dengan nila-nilai Islam. Dalam masyarakat Melayu norma-norma adat saat ini masih berlaku. Biasanya mamak (adik dari ibu) lebih dekat kepada kemenakan. Karena didasarkan atas garis ibu efek yang dapat dilihat adalah setiap satu keluarga lebih banyak dan lebih dekat dengan keluarga ibu atau keluarga perempuan. Sementara adanya penyebutan seorang anak kepada adik atau abang dari pihak orang tua laki-laki pergaulannya kurang begitu dekat tidak seperti kedekatan seorang kemenakan dengan mamaknya.
c.Stratifikasi Sosial
Pada masyarakat Melayu ditemukan stratifikasi sosial yang telah berlangsung turun temurun yaitu :
a. Golongan bangsawan
b.Golongan kebanyakan atau rakyat biasa
Golongan bangsawan adalah golongan yang berasal dari keturunan raja-raja yang ditandai dengan sebutan Tengku, sementara golongan rakyat biasa dalam masyarakat Melayu terdiri dari suku-suku :
1.Suku-suku yang berada di Rokan Kanan yaitu :
a.       Suku Melayu
b.      Suku Ampu
c.       Suku Kuti
d.      Suku Kandang Kopuh
e.       Suku Seberang
f.       Suku Pungkut
g.      Suku Mais
h.      Suku Bonur
i.        Suku Monoiling
j.        Suku Nan Seratus
k.      Suku Nan Lima Puluh
2.Suku-suku yang berada di Rokan Kiri yaitu :
a.       Suku Mais
b.      Suku Petopang Maharajo
c.       Suku Melayu Pekumo
d.      Suku Bondang
e.       Suku Tjaniago
f.       Suku Petopang Rajo Maharajo
g.      Suku Petopang Rajo Nan Besar
h.      Suku Melayu Djalelo Angso
i.        Suku Melayu Majo Indo
j.        Suku Melayu Setia Rajo
k.      SukuMonliang
l.        Suku Domo
d.Bahasa Melayu Rokan Hulu
Masyarakat Melayu Rokan Hulu memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa Rokan yang terdiri : bahasa Pasir/Rambah, Bahasa Tambusai/Dalu-dalu, Bahasa Kepenuhan/Kota Tengah, Bahasa Rokan Empat Koto dan Bahasa Ujung Batu.

2.4.     Sejarah atau Asal Usul Kedatangan

a.       Huta dan Banua
Wilayah pemukiman orang Mandailing disebut Huta atau Banua. Sedangkan kehidupan sosial budaya orang mandailing berlangsung di dalam huta yang memiliki satu kesatuan wilayah dengan batas-batas tertentu. Sikap huta berada di bawah sistem pemerintahan sendiri yang demokratis dan bersifat otonom yang dipimpin oleh seorang raja. Oleh karena yang memimpin pemerintahan adalah seorang raja, maka huta atau banua tersebut dapat disebut horajaon (kerajaan kecil) sesuai dengan cakupan wilayahnya yang umumnya tidak begitu luas.
Menurut tradisi, yang diangkat menjadi raja hanyalah kaum laki-laki saja, dan adanya sejumlah huta di mandailing disebabkan oleh kepindahan orang-orang mandailing dari huta asal ke tempat-tempat lain untuk mendirikan atau membuka tempat pemukiman baru (disebut mamungka huta).
Etnis mandailing masuk ke Tambusai pada masa yang dipertuan raja ke VII kerajaan Tambusai, setelah raja tua, maka tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang pertama Tengku Raja Muda, sementara pada kerajaan Padang Gelugur yang diperintah oleh Sutan perempuan (Raja Wanita) sedang terjadi perang saudara sehingga mereka mengalami kekalahan lalu turun kebawah meninggalkan kerajaan Gelugur yang membawa dua orang cucu yaitu anak keenam dari ketujuh dari Barora yaitu sutan Tua Raja Sulot, dan adiknya Sutan Namora Raja (panyulot) dan tujuh keluarga/marga.
Pada saat itu etnis Mandailing menuju Sosa Kerajaan Tambusai disitulah terjadi hubungan karena adanya hubungan pernikahan dengan bernama Suri Lindung Bulan mereka diberi tempat tinggal di Pisang Kolot selama 32 tahun barulah mereka pindah ke Kerajaan Rambah. Pada kerajaan Melayu itu yaitu Tengku Raja Muda mempunyai keinginan untuk mendirikan kerajaan baru ditengah perjalanan ke Rambah mereka bertemu kelompok orang pertamanya berjumlah 100 dan yang ke dua berjumlah 50 orang kedua kelompok orang itu memohon untuk bergabung dan untuk minta pekerjaan makanya yang seratus orang diserahkan kepada adik Raja Tengku Raja Muda yaitu yang Dipertuan Akhir Zaman dan yang 50 orang dipekerjakan sendiri oleh Tengku Raja Muda.
Tujuh kampung berawal dari perjanjian oleh Dipertuan Akhir Zaman dengan rombongan perempuan yaitu Sutan Perempuan ke Rambah isi perjanjian itu adalah :
1.      Sutan Perempuan Ke Rambah dengan tugas mengusir orang-orang Lubuk sampai kerajaan Rambah bebas dari kerajaan atau orang Lubuk
2.      Sutan Perempuan (Orang Mandailing) diperbolehkan membuat perkampungan di daerah yang didudukinya dan boleh mengatur adat istiadatnya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengana adat istiadat Kerajaan Rambah.
3.      Boleh menyusun pemerintahan sendiri sepanjang tidak menentang Karajaan Rambah
4.      Sultan Perempuan mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Rambah dan menantang semua musuh dari luar
5.      Sutan Perempuan tidak boleh mengadakan hubungan keluar kecuali dengan kerajaan Rambah dan kalaupun ada hubungan keluar harus melalui Raja Rambah.
Perjanjian antara Raja Rambah dengan Sultan Perempuan di Batang Samo, Batang Samo sendiri artinya karena kedua kerajaan ini sama-sama bertemu di sungai dan sama-sama mencari kayu dan disitu didirikan  perkampungan untuk Sutan Perempuan (Mandailing). Perjanjian antara Raja Rambah dengan Sultan Perempuan berbunyi :
1.      Sultan Perempuan diberi hak untuk dapat menggunakan atau memakai tanah disebelah barat sepanjang bukit barisan yang mana sekarang ini ditempati oleh orang Lubuk secara tidak sah.
2.      Sutan Perempuan diberi hak untuk mengusir seluruh orang Lubuk
3.      Sultan Perempuan diberi hak pula untuk membangun negeri, dan dibenarkan membina dan mengurus rombongan yang dibawa dari Tapanuli Selatan.
4.      Sultan Perempuan boleh mengatur dan mendirikan adat istiadat sendiri dan boleh memakai pakaian adat Mandailing berhak memakai pakaian kuning bagi Raja Mandailing.
5.      Tidak boleh serang menyerang antara kerajaan Rambah dan rombongan Sutan Perempuan dan apabila Kerajaan Rambah diserang dari luar supaya Sutan Perempuan dan rakyatnya membantu Raja Rambah. Dan apabila orang Mandailing diserang dari luar tidak mewajibkan Raja Rambah ikut membantu.
Pada saat terjadi peperangan di Kubu Pauh, Kubu Patembang dan Kubu Baru dibuatlah perjanjian antara etnis Mandailing dan etnis Melayu (Raja Rambah) yaitu :
Rombongan Sutan Perempuan diberi nama Napitu Huta (Sutan Na Opat Mangaraja Natolu, dan Nan Beratur, Mangaraja Marbaris) dimana diberi sutan atau mangaraja dan menjadi raja/kepala kerapatan/hulu sembah negeri masing-masing dan diberi hak kekuasaan.
1.      Boleh menghukum atau mengadili di negerinya
2.      Boleh berhubungan dengan luar
3.      Boleh mengambil hasil daerah
4.      Boleh mengatur adat istiadat sendiri yaitu adat jujuran
5.      Boleh menggunakan/memakai pakaian adat  Raja Mandailing pakaian warna kuning.
Pada masa Raja Tengku Ibrahim gelar raja yang dipertuan besar diberilah gelar atau hak bagi setiap kampung yaitu :
1.      Kubu Baru atau Batang Samo pembesarnya bergelar Laut Api/Sutan Na Lobi, Sutan Mangamar bagi Batang Samo.
2.      Haiti dengan kebesaran Sutan Tuah disitu berganti dengan Sutan Laut Api
3.      Menaming dengan kebesaran Sutan Kumalo Bulan, kemudian Tangun disitu Sutan Silindung
4.      Pawan dengan Mangaraja Timbalan
5.      Tanjung Berani dengan gelar Mangaraja Timbalan
6.      Sungai Pinang dengan gelar Mangaraja Timbalan
Sutan Mangatur, Mangaraja Berbaris adalah :
1.      Sigatal kepala adatnya Sutan Bongsu
2.      Gunung Intan kepala adatnya Sutan Mangabar/Sutan Simawal
3.      Huta Lolot Tangun kepala adatnya Sutan Mangabar/Sutan Palembang
4.      Huta Padang Tangun kepala adatnya Sutan Badullah/Mangaraja Kayo
5.      Langgar Payung kepala adatnya Sutan Guru
6.      Rambahan kepala adatnya Said mangaraja/Said Johor
7.      Muara Katogan kepala adatnya Sutan Mongol/Sutan Perempuan
8.      Haiti Hilir kepala adatnya Sutan Kumalo Gunung
9.      Sungai Salak kepala adatnya Ja salindung/Ja Bangun
10.  Ujung Padang Tangun kepala adatnya Mengaraja Lembang/Mangaraja Kayo
11.  Janji Raja kepala adatnya mangaraja Khotib/mangaraja Putih
12.  Kepala Bondar kepala adatnya Mangaraja Malim/Mangaraja Harang.
Dimana setiap Sutan tadi harus berinduk sehingga adalah aturan di dalam suku Mandailing dimana Sutan Na Opat, Mangaraja Na Tolu berbapak atau berinduk kepada Sultan Mahmud, kemudian Sutan Maratur Marbaris berinduk kepada sutan laut api, dan setiap kampung itu yang berdiri di Napitu Huta tunduk kepada sutan atau mangaraja yang ada di daerah tersebut.
Sementara sejarah kedatangan Mandailing menurut Bapak Doli Siregar di Janji Raja. Kedatangan etnis Mandailing memiliki priode-priode yaitu Tambusai selama empat puluh tahun, Rambah Samo, dan terakhir sampai di Haiti.
Berdasarkan Tokoh masyarakat M. Nur Daulay etnis Mandailing datang ke Rokan Hulu kira-kira enam ratus tahun. Berkelompok semua tujuh suku datang dari Tapanuli Selatan karena peperangan di Siantar perang saudara gara-gara tuan boru  menghancurkan dan membakar kampung-kampung dan rumah-rumah kemudian etnis Mandailing ini menyingkir dan lari ke Riau yang bermukim  di Bukit Rurang, Sosa (Muara Kacang Kolot) Gunung Simbaktor, Gunung Simarawo-rawo.
Sementara tokoh masyarakat Yacub Siregar menyatakan pada awalnya etnis Mandailing masuk daerah Rokan Hulu sebelum perang Paderi berlangsung.

a.       Etnis Jawa
Etnis Jawa datang ke Rokan Hulu didasarkan pada program transmigrasi dan ada juga yang merantau sendiri-sendiri seperti ada yang datang dari Medan (Sumatera Utara) yang merupakan bawaan tentara Jepang yang dijadikan kuli atau buruh kontrak, berhubung tentara Belanda keluar dari Rokan Hulu dan adanya informasi tanah yang tidak bertuan, ada juga etnis yang datang ke Rokan Hulu sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang atau empat orang (kelompok kecil) sebagian besar dari Jawa Timur, Pacitan. Informasi di daerah dari kerabat-kerabat pada tahun 1995 etnis Jawa sudah datang ke Rokan Hulu. Pada saat gerakan PRRI pada tahun 1958 etnis Jawa sudah membuat suatu perkampungan di kawasan Rokan Hulu yang disebut dengan Kampung Jawa.
Pemukiman tiap-tiap etnis pada saat ini dapat dikatakan sudah terjadi pembauran yang cukup besar, hal ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya semakin kompleksnya kebutuhan atau kepentingan-kepentingan dari etnis-etnis yang ada, faktor ekonomi, hubungan sosial masyarakat, transportasi dan komunikasi walaupun demikian masih terdapat pemukiman-pemukiman yang dominan oleh etnis-etnis tertentu.





BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Adat  istiadat  merupakan  salah  satu  perekat  sosial  dalam  kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari masyarakat yang beraneka ragam suku, budaya, agama serta mempunyai adat istiadat yang berbeda-beda. Namun mereka tetap bersatu di dalam kebhinekaannya menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Republik Indonesia. Dan pembauran masyarakat merupakan suatu keniscayaan seiring dengan proses perubahan di berbagai aspek kehidupan yang disebabkan oleh adanya migrasi penduduk dari berbagai suku yang datang ke Kecamatan Tambusai.
Tambusai yang awalnya merupakan kerajaan dan berkembang menjadi Kecamatan tentunya juga mengalami perubahan dari segi adat istiadat di mana yang awalnya adat istiadat yang ada hanya merupakan budaya suku Melayu bertambah dengan datangnya suku Mandailing dan suku Jawa didasarkan pada program transmigrasi dan ada juga yang merantau sendiri-sendiri seperti ada yang datang dari Medan (Sumatera Utara).
Sedangkan etnis mandailing sudah lebih dahulu masuk ke Tambusai pada masa yang dipertuan raja ke VII kerajaan Tambusai, setelah raja tua, maka tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang pertama Tengku Raja Muda, sementara pada kerajaan Padang Gelugur yang diperintah oleh Sutan perempuan (Raja Wanita) sedang terjadi perang saudara sehingga mereka mengalami kekalahan lalu turun kebawah meninggalkan kerajaan Gelugur yang membawa dua orang cucu yaitu anak keenam dari ketujuh dari Barora yaitu sutan Tua Raja Sulot, dan adiknya Sutan Namora Raja (panyulot) dan tujuh keluarga/marga.





3.2.       Saran-saran

1.      Adapun saran-saran yang ingin penulis kemukakan yaitu sebagai berikut:

2.      Amalgamasi yang terjadi di Kecamatan Tambusai diharapkan lebihdapat menumbuhkan sikap toleransi dan bisa memahami etnis dan budaya lain agar tercipta kedamaian dan kerukunan di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat.
  1. Asimilasi dan akulturasi yang terjalin dan terbina di dalam kehidupan lembaga masyarakat maupun di dalam lenbaga keluarga tetap dipertahankan kemudian diharapkan lebih menumbuhkan kesadaran, kepercayaan, dan sikap keterbukaan yang tinggi lagi agar selalu tercipta kehidupan yang harmonis dan baik.

  1. Masyarakat  Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu, harus lebih meningkatkan partisipasi di dalam pembauran masyarakat yang multietnis di dalam berbagai aspek


5.      amalgamasi, asimilasi, dan akulturasi. Guna menghindari timbulnya prasangka negatif yang berlebihan.

1 comment:

  1. S1288poker Agen Poker Terpercaya No 1 di Indonesia.
    Ayo rasakan bermain Poker Online Uang Asli, dengan kualitas server terbaik di Indonesia, serta tampilan terbaru.
    S1288poker, Agen Poker yang akan memberikan jaminan keamanan dalam bermain Poker Online tanpa robot.
    Kami akan dengan senantiasa selalu memberikan pelayanan terbaik selama 24 jam setiap harinya. (PIN BBM : 7AC8D76B)

    ReplyDelete