PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Adat istiadat
merupakan salah satu
perekat sosial dalam
kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen,
seperti Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari masyarakat
yang beraneka ragam suku, budaya, agama serta mempunyai adat istiadat yang
berbeda-beda. Namun mereka tetap bersatu di dalam kebhinekaannya menjadi satu
kesatuan dalam wadah Negara Republik Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistemagama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.
Kecamatan Tambusai berasal dari Nama Kerajaan Tambusai pada masa Kolonial
Belanda. Dimasa kerajaan Tambusai yang diperintah oleh raja yang ke XIV yakni
Sri Sulthan Ibrahim yang diberi gelar Duli yang dipertuan besar. Pada masa
pemerintahan nya Agama Islam sangat berkembang pesat disepanjang sungai Rokan
yang disiarkan oleh Mubaligh-mubaligh yang datang dari Aceh. Walaupun
pengaruh Agama Hindu masih terasa dalam kehidupan masyarakat, terutama
dalam upacara-upacara adat. Namun agama Islam sangat diterima oleh masyarakat.
Luhak Tambusai konon disebut sebgai
luhak tertua, dimana cikal bakal terjadinya luhak kepenuhan, Rambah dan Kunto
Darussalam. Awal berdirinya kerajaan Tambusai di Karang Besar, lalu
berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, ada yang menyebutkan
sampai 16 kali perpindahan, sehingga kerajaan tersebut tiada tenang dan timbul
kerugian-kerugian karena perilaku berkumpul lalu bubar atau usai, begitu
seterusnya akibat berpindah-pindah. Dari peristiwa berpindah-pindah lalu
berkumpul, berpindah lagi, berkumpul lagi maka disebutlah kerajaan ini Tambusai
yaitu dari asal kata tambun (berhimpun atau berkumpul), usai (pindah atau
bersebar) menjadilah Tambun-usai, disebut juga dengan Luhak tambusai panggilan
pada masyarakat adat sekarang.
Sebagai suku yang terletak di
Daerah perbatasan Provinsi, Kecamatan Tambusai tentu memiliki beragam suku
bangsa walaupun awalnya suku Melayu di mana Sistem kekerabatan etnis Melayu adalah matriakat, atau
garis keturunan dari garis ibu. Pada umumnya pola pikir suku Melayu ingin anak
kemenakannya itu setara dengan suku-suku lain, susunan keluarga diatur oleh
perempuan, sehingga perempuan yang memegang peranan, dari dasar perempuan yang
menyusun kekerabatan tadi itulah yang diikuti yang disusun adalah anak-anak
yang kira-kira mampu memegang keutuhan suku artinya dengan suku-suku pendatang
itulah masing-masing mencari jati dirinya, ada juga karena facktor keturunan
itu dibarengi dengan pendidikan. Dalam sistem kekerabatan etnis Melayu ada yang
dikenal dengan Datuk Suku (Kepala Suku) yaitu pimpinan suku, mamak (Adik dari
Ibu).
Selain itu suku Melayu juga ada etnis mandailing yang sudah cukup lama menghuni
Tambusai, mereka masuk
ke Tambusai pada masa yang dipertuan raja ke VII
kerajaan Tambusai, setelah raja tua, maka tampuk kekuasaan diserahkan kepada
anaknya yang pertama Tengku Raja Muda, sementara pada kerajaan
Padang Gelugur yang diperintah oleh Sutan perempuan (Raja Wanita) sedang
terjadi perang saudara sehingga mereka mengalami kekalahan lalu turun kebawah
meninggalkan kerajaan Gelugur yang membawa dua orang cucu yaitu anak keenam
dari ketujuh dari Barora yaitu sutan Tua Raja Sulot, dan adiknya Sutan Namora
Raja (panyulot) dan tujuh keluarga/marga.
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik
patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing
mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja berbeda
di suku Batak lainnya, yang mengenal hampir 500 marga.
Upacara Adat saat ini yang sering
dilakukan masyarakat mandailing adalah: (1) Upacara Adat Siriaon/Horja
Haroan Boru/Pabuat Boru(Upacara Adat Perkawinan), (2) Upacara
Adat Siluluton/Mambulungi (Upacara Adat Kematian) dan
(3) Horja Siulaon (Upacara Adat Berkarya).
Etnis Jawa datang ke Rokan Hulu
didasarkan pada program transmigrasi dan ada juga yang merantau sendiri-sendiri
seperti ada yang datang dari Medan (Sumatera Utara) yang merupakan bawaan
tentara Jepang yang dijadikan kuli atau buruh kontrak, berhubung tentara
Belanda keluar dari Rokan Hulu dan adanya informasi tanah yang tidak bertuan,
ada juga etnis yang datang ke Rokan Hulu sendiri-sendiri atau
berkelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang atau empat orang (kelompok
kecil) sebagian besar dari Jawa Timur, Pacitan. Informasi di daerah dari
kerabat-kerabat pada tahun 1995 etnis Jawa sudah datang ke Rokan Hulu. Pada
saat gerakan PRRI pada tahun 1958 etnis Jawa sudah membuat suatu perkampungan
di kawasan Rokan Hulu yang disebut dengan Kampung Jawa.
Pemukiman tiap-tiap etnis pada saat ini
dapat dikatakan sudah terjadi pembauran yang cukup besar yang tentunya sudah masuk ke Tambusai, hal ini terjadi karena beberapa faktor
diantaranya semakin kompleksnya kebutuhan atau kepentingan-kepentingan dari
etnis-etnis yang ada, faktor ekonomi, hubungan sosial masyarakat, transportasi
dan komunikasi walaupun demikian masih terdapat pemukiman-pemukiman yang
dominan oleh etnis-etnis tertentu. Adapun adat istiadat orang jawa menganut paham patrilinial dimana sang
anak mengikuti garis keturunan ayahnya.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimakah
Sejarah Kec. Tambusai ?
2.
Darimanakah Asal
Nama – nama Lima Luhak ?
3.
Bagaimanakah
Adat Istiadat Perkawinan di Kec.
Tambusai ?
1.3.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui Sejarah Kec. Tambusai.
2.
Untuk
mengetahui Asal Nama Lima Luhak yang ada di Kec. Tambusai.
3.
Menambah Ilmu Pengetahuan
tentang Adat Istiadat Perkawinan di Kec. Tambusai.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Kecamatan Tambusai
Kecamatan Tambusai berasal dari Nama Kerajaan Tambusai pada masa Kolonial
Belanda. Dimasa kerajaan Tambusai yang diperintah oleh raja yang ke XIV yakni
Sri Sulthan Ibrahim yang diberi gelar Duli yang dipertuan besar. Pada masa
pemerintahan nya Agama Islam sangat berkembang pesat disepanjang sungai Rokan
yang disiarkan oleh Mubaligh-mubaligh yang datang dari Aceh. Walaupun
pengaruh Agama Hindu masih terasa dalam kehidupan masyarakat, terutama
dalam upacara-upacara adat. Namun agama Islam sangat diterima oleh masyarakat.
Karena agama Islam sudah dianut oleh masyarakat di kerajaan Tambusai, maka
disetiap Kerapatan Negri, Raja dan para Staf nya bersidang selalu
mengikut sertakan golongan Agama. Dimana golongan agama ini disebut sebagai
Imam. Pada masa pemerintahan raja yang diberi gelar Imam ini adalah Imam
Maulana Kali, yang berasal dari Kerajaan Rambah yang tidak jauh dari
Kerajaan Tambusai.
Imam maulana Kali memiliki seorang Istri yang bernamaa Munah yang
berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Dan memiliki
seorang putra yang bernama Muhammad Saleh. Dimana Muhammad saleh ini lah yang
disebut Tuanku Tambusai . Yang lahir di Dalu-Dalu Pada Tanggal 5
November 1784. Dan dikenal sebagai Pahlawan Nasional dari Riau.
Tuanku Tambusai memiliki bukti sejarah Benteng tujuh lapis yang
berada di Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai sekitar 23 km dari makam
raja-raja Rambah atau 35 Km dari Ibukota Kabupaten Rokan Hulu. Benteng tanah
yang dibuat masyarakat dalu-dalu pada zaman penjajahan Belanda, atas petuah
Tuanku Tambusai di atas bumbun tanah ditanam bambu atau aur berduri. Di sekitar
daerah dalu-dalu ini juga terdapat beberapa benteng-benteng yang disebut Kubu.
Benteng ini terdiri dari tujuh lapis dengan gundukan tanah mencapai tinggi
11 meter yang ditanam AUO Duri (Bambu Berduri), tahun 1838 – 1839. Letkol
Michele datang ke Dalu-dalu untuk menaklukkan benteng, akhirnya benteng dapat
dikuasai, dan Tuanku Tambusai bersamaan dengan sebagian prajurit meninggalkan
benteng pada tanggal 28 Desember 1839 menuju Negeri Sembilan Malaysia melalui
sungai Batang Sosah yang persis berada di pinggiran Benteng Tujuh lapis. Dan
beliau meninggal di Negri Sembilan Malaysia.
Karna kegigihan perjuangan Tuanku Tambusai oleh Belanda diberi gelar
kepadanya ”De Padrische Tijger Van Rokan” berarti Harimau Padri dari Rokan.
Selain Tuanku Tambusai Sultan Zainal Abidin juga pernah menggunakan Benteng ini
dalam melawan pemberontak negeri. Sekarang Benteng ini sudah tidak terlihat
bentuk aslinya.
Benteng Tujuh Lapis bertembok tebal, kokoh tujuh lapis, diperkuat dengan
tanaman bambu berduri (aur duri) dan parit sedalam sepuluh meter. Benteng ini
luasnya menyamai sebuah kampung. Dengan nilai perjuangan yang melekat pada
benteng ini, menjadikannya sebagai salah satu objek wisata budaya dan
peninggalan sejarah perjuangan masyarakat Riau menentang penjajah.
Kecamatan Tambusai dahulunya sejak Indonesia Merdeka sudah ada, tapi
pada waktu itu Kecamatan Tambusai masih berinduk di Kabupaten Kampar. pada saat
sekarang sudah berada di Kabupaten Rokan Hulu dengan ibukota Pasir Pengaraian,
karna terjadi pemekaran Kabupaten Rokan Hulu dengan proses yang sangat
panjang maka pada tahun 1999 lah baru dapat diwujudkan.
Setelah Indonesia merdeka Tahun 1945, wajah Rokan Hulu mulai berubah.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 9 November
1949 Nomor 10/GM/STE/49, kewedanaan Pasir Pengarayan dimasukkan kedalam wilayah
Kabupaten Kampar dengan ibu kota Pekanbaru. Selain itu, tiga daerah lain,
yaitu Pelalawan, Bangkinang, dan Pekanbaru luar kota, ikut masukkan menjadi
kewedanaan. berada di Kabupaten Kampar.
Pada masa itu, Kabupaten Rokan Hulu yang dimulai dari keinginan masyarakat
Kabupaten Rokan Hulu khususnya para tokoh untuk membentuk sebuah Kabupaten
sudah lama muncul, hal ini terbukti dari beberapa dokumen sejarah, Salah
satu dokumen sejarah itu adalah rekomendasi hasil musyawarah besar (Mubes)
masyarakat Rokan Hulu di Pasir Pengarayan yang dilaksanakan pada tahun 1962
silam, pertemuan itu dihadiri oleh para petinggi di masing-masing luhak yang
ada di Rokah Hulu. Rekomendasi dari Mubes tersebut adalah agar daerah Eks
Wedanaan Pasir Pengarayan ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten daerah TK II
Rokan Hulu, namun akhirnya kandas karena kuatnya rezim yang berkuasa pada saat
itu, tidak ada pemekaran wilayah, Pada masa itu Kecamatan Tambusai sudah
terbentuk dengan ibu kota Dalu-Dalu, dengan Kabupaten Kampar. dan selang lebih
kurang 6 tahun kemudian keinginan itupun muncul kembali pada Musyawarah Besar
tahun 1968, namun lagi-lagi gagal untuk mewujudkan Kabupaten.
Keadaan ini bertahan cukup lama sampai terbit Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 821.26.525, tanggal 26 Mei 1997. Pemerintah menetapkan Rokan Hulu
sebagai wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah I. Itulah setidaknya yang
menjadi cikal bakal Kabupaten Rokan Hulu berkenalan dengan system administrasi
Negara. Dua tahun kemudian, perubahan yang cukup signifikan kembali terjadi.
Seiring dengan maraknya gelombang reformasi di segala bidang, dan otonomi
daerah di canangkan, banyak tokoh Rokan Hulu yang menuntut status tersendiri
bagi daerahnya. Tokoh-tokoh Rokan Hulu menghendaki wilayahnya terpisah dari
kabupaten Kampar. Mereka berpendapat, jika Rokan Hulu terpisah dari Kabupaten
Kampar, kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan. Apalagi, jarak ibu kota
Kabupaten Kampar dengan Rokan Hulu relatif cukup jauh sehingga menjadi kendala
serius bagi pembangunan Kabupaten Rokan Hulu.
Tak hanya itu, faktor historis juga berperan sebagai pendorong keinginan
masyarakat Rokan Hulu untuk berdiri sendiri. sebab, daerah Rokan Hulu adalah
eks kewedanaan Pasir Pengarayan dan telah berdiri sendiri. Kalau mau ditarik
lebih jauh lagi, daerah Rokan Hulu pernah menjadi daerah otonom dengan
pemerintahan Kerajaan Rokan, sedangkan Dari sisi kebudayaan, Rokan Hulu juga
punya alasan untuk berdiri sendiri. Rokan Hulu memiliki kultur, bahasa, serta
adat istiadat yang berbeda dari induknya. Dan, yang paling utama, factor
ketertinggalan, baik dari segi pengembangan sumber daya manusia (SDM) maupun
pengelolaan sumber daya alam (SDA), dibandingkan dengan daerah lain di Riau.
Akhirnya berimbas pula pada rendahnya tingkat perkembangan perekonomian masyarakat.
Tokoh-tokoh intelektual dan masyarakat Rokan Hulu menyadari, hanya dengan
adanya kabupaten tersendiri, berbagai ketertinggalan itu dapat dikejar.
Keinginan yang begitu menggebu dari para tokoh, yang didukung semua lapisan
masyarakat Rokan Hulu, akhirnya diresponspemerintah pusat.
Seiring datangnya era reformasi di Indonesia membuat kesempatan untuk
membentuk sebuah kabupaten itu terbuka lebar. Proses teknis pembentukan
Kabupaten Rokan Hulu diawali dengan masuknya usulan pembentukan Kabupaten.
Panitia pembentukan Kabupaten Rokah Hulu bekerja keras siang dan malam,
sehingga pada tanggal 16 Mei 1999 panitia telah dapat menyampaikan aspirasi
masyarakat Rokan Hulu ke DPRD Kbupaten Kampar yang berjumlah 210 lembar
aspirasi yang berasal dari berbagai elemen masyarkat: Ninik mamak/pemangku
adat, Ulama, Cendikiawan, Pemuka masyarakat, Tokoh Pemuda, pemimpin organisasi
kemasyarakatan. Selain itu disampaikan pula Aspirasi masyarakat tersebut kepada
Bupati Kampar, Gubernur Riau dan DPRD Propinsi Riau di Pekanbaru.Dengan
berbagai pertimbangan yang matang, Gubernur Riau dengan surat nomor :
135/TP/1303 tanggal 3 juni 1999 yang ditujukan kepada Bupati Kampar perihal
usulan Kabupaten Rokah Hulu dan Pelalawan yang intinya meminta kepada Bupati
Kampar untuk menyampaikan pertimbangan dan pendapatnya atas pemekaran kabupaten
tersebut, dengan surat Gubernur diatas, DPRD Kabupaten Kampar memberikan
Apresiasi yang positif terhadap pemekaran tersebut, sehingga pada tanggal 8
Juni 1999 mengusulkan ke Menteri Dalam Negeri tentang persetujuan pemekaran
Kabupaten Kampar yang menyebutkan bahwa wilayah Kabupaten Rokan Hulu terdiri
dari 7 kecamatan, ( kecuali Desa Tandun, Desa Aliantan, dan Desa Kabun),
munculnya kata Kecuali dalam Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 disebabkan oleh
surat DPRD Kampar yang kedua tersebut.
Dengan desakan berbagai elemen masyarakat, akhirnya Gubernur Riau dan DPRD
Propinsi Riau menyampaikan usulan kepada Pemerintah Pusat, sehingga Pemerintah
Pusat menerbitkan RUU nomor 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Rokan
Hulu dan Kabupaten Pelalawan, Rokab HIlir, Siak, Karimun, Natuna, Kuantan
Singingi dan kota Batam. Akhirnya pada tanggal 4 Oktober 1999, Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999 disetujui, maka secara yuridis sejak itulah Kabupaten Rokan
Hulu berdiri sebagai Kabupaten otonom, namun baru diresmikan oleh Pemerintah
sebagai Kabupaten Rokan Hulu dan 7 Kabupaten lainnya di riau pada tanggal
12 Oktober 1999. Maka sejak itulah secara de facto maupun de yure
Kabupaten Rokan Hulu resmi menjadi sebuah daerah Otonom dengan ibu kota Pasir
Pengarayan. Kemudian diperkuat lagi dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi No.
010/PUU-1/2004, tanggal 26 Agustus 2004 yang menjadikan Desa Tandun, Desa
Aliantan, dan Desa Kabun sebagai bagian dari Kabupaten Rokan Hulu.
Sampai saat ini telah dipimpin oleh beberapa orang Bupati yaitu : H.
Nurhasyim, SH (Pj. Bupati Pertama), Drs. H.Ahmad (Pj. Bupati kedua), Kemudian
H. Ramlan Zas, SH.MH dan Drs. H.Auni M Noor sebagai Bupati dan Wakil Bupati
untuk Masa Jabatan 2001-2006, selanjutnya Drs. H.Ahmad , Msi. Dan H. Sukiman sebagai
Bupati dan Wakil Bupati untuk Masa jabatan 2006-2011 selanjutnya untuk masa
jabatan 2011-2016 dipimpin oleh Pasangan sebagai Bupati dan Wakil Bupati
terpilih yakni Drs. H.Ahmad, M.Si dan Ir.H.Hafith Syukri, MM dan untuk masa
jabatan 2016-2021 dipimpin oleh pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih yakni
Suparman, S.Sos. M.Si dan H. Sukiman. Sedangkan Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Rokan Hulu untuk masa jabatan 2000-2004 yaitu Ali Lius-Masgaul
Yunus,SH,MH-Ruslan Abdul Gani-Sukiman, untuk masa jabatan 2004-2009 yaitu Teddy
Mirza Dal - H.Syafaruddin Poti,SH - H.Hasanudin Nst,SH dan pimpinan untuk masa
jabatan 2009-2014 yakni H.Hasanudin Nst,SH - Nurkhalis,SE-Erizal,ST dan pimpinan untuk
masa jabatan 2014-2019 yakni Nasrul Hadi, ST. MT-Kelmi Amri, SH
Kecamatan Tambusai memiliki jumlah penduduk ± 41.799 jiwa dengan kepadatan
penduduk dengan rata-rata 37 jiwa / KM2. Sedangkan batas –
batas wilayah kecamatan Tambusai adalah :
·
Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan
Tambusai Utara
·
Sebelah selatan berbatas dengan
Kecamatan Rambah Hilir dan Kecamatan Bangun Purba
·
Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan
Kepenuhan
·
Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan
Huta Raja Tinggi Kabupaten Padang Lawas Propinsi Sumatra Utara
2.2.
Asal Nama-nama Lima Luhak
Luhak artinya kelompok kampong terbesar
disebuah kerajaan, ada lima luhak dan dua kewalian di Rokan Hulu pada zaman
terbentuknya kerajaan-kerajaan kecil ini setelah runtuhnya kerajaan Roka Tua
yaitu : Luhak Tambusai, luhak Rambah, luhak kepenuhan, luhak Kunto Darussalam,
Luhak Rokan IV Koto, kewalian Tandun, kewalian Kabun. Konon cerita terbentuknya
nama luhak ini disebabkan perlakuan dari kerajaan berdirinya
kerajaan-kerajaan itu.
1.
Luhak
Tambusai
Luhak Tambusai konon disebut sebgai
luhak tertua, dimana cikal bakal terjadinya luhak kepenuhan, Rambah dan Kunto
Darussalam. Awal berdirinya kerajaan Tambusai di Karang Besar, lalu
berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, ada yang menyebutkan
sampai 16 kali perpindahan, sehingga kerajaan tersebut tiada tenang dan timbul
kerugian-kerugian karena perilaku berkumpul lalu bubar atau usai, begitu
seterusnya akibat berpindah-pindah. Dari peristiwa berpindah-pindah lalu
berkumpul, berpindah lagi, berkumpul lagi maka disebutlah kerajaan ini Tambusai
yaitu dari asal kata tambun (berhimpun atau berkumpul), usai (pindah atau
bersebar) menjadilah Tambun-usai, disebut juga dengan Luhak tambusai panggilan
pada masyarakat adat sekarang.
Ada pula yang mengatakan Tambusai itu
adalah darikata tombusan sebuah lobang tembusan antara sungai Sosah dan sungai
Batang Lubuh dimana tempat ini adalah jalur penghuni sungai Rokan yaitu Sutan
Ponyalinan berlalu lalang, suatu ketika terjadi kehilangan dikalangan keluarga
raja, dimana seorang anak gadisnya telah hilang saat mandi di sungai sosah,
sudah puas mencari akhirnya anak gadis itu ditemui disebuah lobag dengan
keadaan tidak kotor dan segar bugar.ditanyailah gadis itu, darimana saja tuan
putrid menghilang selama tiga hari. Putrid menjawab, aku bertamasya bersama
seorang pemuda gagah bernama sutan Ponyalinan, ia membawaku ketiga tempat yang
indah ang tiada pernah kulihat selam ini. Apa yang diperbuat sutan Ponyalinan
itu terhadap dirimu, Tanya keluarga lainnya. Tida terjadi apa-apa hanya
melancong saja, dan makan bersama bersama keluarga beliau, katanya hari itu
adalah hari terjadinya sungai Rokan, dan mereka mengadakan rapat paripurna
dibentuknya daulat-daulat Rokan kanan dan Rokan Kiri. Dengan rasa penasaran
pertanyaan terus diberikan kepada tuan putri, siapa pemimpin mereka, saya hanya
berjabat tangan dan beliau menyebutkan namanya, beliau bernama Tuk Saih Panjang
Jangguik.
Demikianlah perjalanan tamasya tuan
putrid kesebuah tombusan sehingga dengan petunjuk dari tuan putrid dibuatlah
nama kerajaan Tombusai yang sekarang disebut Luhak Tambusai.
Suku-suku yang ada di Luhak Tambusai ini
dahulunya adalah Melayu, Ampu, Kuti, Kandang Kopuoh, Soborang, Pungkuik,
Mais, Bonuo, dan monoiliang
dengan Gelar
Datuk dari 9 suku tersebut yaitu :
- Suku Melayu dengan gelar Datuk Pusako Rangkayo Naro
- Suku Ampu dengan gelar Datuk Sinaro Mudo
- Suku Kuti dengan gelar Datuk Paduko Jo Sianso, Datuk Paduko Laksmano
atau Datuk Paduko Jo Lelo
- Suku Kandang Kopuh dengan gelar Datuk Kuti Anso
- Suku Soborang dengan gelar Datuk Rangkayo Maharajo
- Suku Pungkuik dengan gelar Datuk Rangkayo Morajo
- Suku Maih dengan gelar Datuk Tomogong Kayo
- Suku Bonuo dengan gelar Datuk Bonuo Ampu
- Suku Muniliang
dengan gelar Datuk Paduko Tuo
2.
Luhak
Rambah
Setelah berkembang kerajaan ini dan
melakukan perambahan dengan cara merambah hutan, tepatnya di sungai Kumpai,
desa kumu sekarang, 12 km dari Pasirpengaraian, maka berdirilah kerajaan Rambah
dengan dinobatkan seorang anak raja dari Tambusai bernama Tengku Tunggal Kuning
atau yang dipertuan muda. Maka tersohorlah kerajaan ini dan dibuat karang janji
yan mengatur kehidupan kerajaan kedua belah pihak.
Akhirnya masa sekarang disebut dengan
luhak Rambah. Adapun suku yang beradat ke luhak Rambah adalah Melayu, Ampu,
Pungkuik, Kandang Kopuh, dan Kuti.
3.
Luhak
Kepenuhan
Kerajaan ini terbentuk semasa kerajaan
Tambusai dibawah kekuasaan yang dipertuan tua (raja ke-7) berawal kedatangan
sejumlah rombongan memasuki sungai Rokan, lengkap dengan orang-orang besarnya,
mula-mula hendak menetap di kuala batang sosa, mengutus 11 orang dari kelompok
tersebut menghadap raja Tambusai
Permohonan dari wakil 11 tersebut
diterima dengan izin untuk sekedar berkebun dan berladang, namun ada gejala
perpecahan. 7 pihak ingin tinggal di Batang Sosa sedangkan 4 pihak ingin pindah
ke pulau Lontar, selain perpecahan kelompok yang tujuh dimasa itu terjadi
kekejaman dan kezaliman pada kelompok yang tujuh.
Kata-kata kepenuhan dimabil dari istilah
“keponohan” yang mana didaerah ini telah banyak kelompok-kelompok pendatang
yang memenuhi tempat ini sehingga disebutlah terbentuklah kerajaan kepenuhan.
Ada[un suku yang beradat disini adalah
suku Melayu, suku Moniliang, suku Pungkuik, suku Kandang Kopuh ,suku Mais, suku
Kuti, suku Ampu
4.
Luhak
Kunto Darussalam
Kunto Darussalam banyak dipengaruhi oleh
kerajaan Siak Sri Indrapura, sehingga nama-nama Kunto Darussalam adalah
nama-nama kota Islam dimasa itu. Adapun suku yang beradat disini kebanyakan
suku Melayu, Moniliang, dan Pukomo.
5.
Luhak
Rokan IV Koto
Kerajaan Rokan di negeri Rokan IV Koto
pada awalnya tumbuh tiada hubungan dengan kerajaan Tambusai, menurut riwayat
mereka mengambil keturunan raja dari Pagaruyung melalui Padang Nunang Rao.
Pelopor pertama memasukkan ajaran Islam
kedaerah ini adalah Sultan Harimau dari kerajaan Kunto Darussalam, negeri asal
terletak diatas suatu bukit diantara Lubuk Bendahara dengan negeri Rokan.
Tempat inilah mulanya ajaran Islam
dipusatkan, suatu tempat belajar ibadah sehingga disebut teluk sembahyang.
Daerah yang terbesar pada mulanya adalah
Rokan, Pendalian, Sekebau, dan Lubuk Bendahara. Nama-nama ini dalam adat
besarnya sesuai denga urutannya, itulah sebabnya asal bermula sampai dinamakan
Negeri Rokan IV Koto.
Kedudukan raja dimasa itu ditempatkan di
Rokan, tetapi Lubuk Bendahara merupakan tempat yang ramai disinggahi pedagang
dari Sumatera Barat. Adapun suku yang beradat disini adalah suku Mais, suku
Bendang, suku Melayu Pokomo, suku Caniago, suku Petopang, suku Moniliang dan
Pongolu Pasa (pemerintah dalam hal penanggung jawab sebelum masuk suku)
Adapun asal usul lima luhak tersebut
dalah ujud dari pelancongan yang dilakukan tuan putrid kerajaan Tambusai yang
mengikuti siding paripurna pembentukan daulat dua wilayat tersebut. Adapun tiga
tempat itu adalah sungai Rokan Kanan, sungai Rokan Kiri, dan sungai Sosa.
Sungai Sosa dan sungai Rokan Kanan berdaulat menjadi Okan Kanan,
sedangkan Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto berdaulat kepada Rokan Kiri.
2.3. Adat Istiadat Perkawinan
Sebagai daerah yang masuk ke
wilayah Riau Tambusai tentu didominasi oleh suku Melayu dimana sistem kekerabatan etnis Melayu adalah matriakat,
atau garis keturunan dari garis ibu. Pada umumnya pola pikir suku Melayu ingin
anak kemenakannya itu setara dengan suku-suku lain, susunan keluarga diatur
oleh perempuan, sehingga perempuan yang memegang peranan, dari dasar perempuan
yang menyusun kekerabatan tadi itulah yang diikuti yang disusun adalah
anak-anak yang kira-kira mampu memegang keutuhan suku artinya dengan suku-suku
pendatang itulah masing-masing mencari jati dirinya, ada juga karena facktor
keturunan itu dibarengi dengan pendidikan. Dalam sistem kekerabatan etnis
Melayu ada yang dikenal dengan Datuk Suku (Kepala Suku) yaitu pimpinan suku,
mamak (Adik dari Ibu).
Adat istiadat etnis Melayu pada saat
terdiri dari kesenian, seperti pencak silat berfungsi menjaga diri, acara
nikah, kemudian Gondang berogong. Umumnya pakaian adat melayu Rokan Hulu sama
dengan Melayu Riau, kaluarga yang laki-laki pakai teluk belangan, pakai songket
kalau perempuan pakai songket dan kebaya panjang kemudian ada sanggul di
atasnya kemudian celempang kalau warna pakaian kuning biasanya diumpamakan raja
sehari, pakaian adat warna hitam, warna hitam melambangkan ia mempunyai
kekuatan adat yang dipercayai oleh anak kemenakan, untuk bangsawan warna
pakaiannya berwarna kuning. Jadi kalau dalam tata cara pernikahan suku melayu
Rokan Hulu pertamanya itu ada namanya sulu-sulu ayia. Maksud sulu-sulu ayia
itu, maksudnya orang di sungai itu sambil mencuci ibu-ibu membicarakan anak
orang dengan anak orang lain yang dianggap sudah pantas untuk menikah, bila
tahap pertama tadi berkembang maka tugas laki-laki mendatangi pihak perempuan
untuk membicarakan rencana lamaran, maka dilakukanlah musyawarah atau
kesepakatan keluarga, kalau setuju sepakat ikut mamak yaitu adik ibu, cocok
lagi baru ke mamak kedua belah pihak begitu lalu naik lagi satu tingkat lagi ke
acara pertunangan, tunangan disuruh kumpulan kedua belah pihak keluarga tadi
untuk membcarakan rencana lamaran, maka dilakukan musyawarah atau kesepakatan
keluarga, kalau setuju tingkat lagi sepakat ikut mamak yaitu adik ibu, cocok
lagi baru ke mamak adat kedua belah pihak begitu lalu naik lagi satu tingkat
lagi ke acara pertunangan, tunangan disuruh kumpulah kedua belah pihak keluarga
tadi untuk membicarakan kalau disitu isinya kapan hari pernikahannya
dilaksanakan, berlanjut ke tahap padan janji itu adalah hasil mufakat antara
pihak laki-laki dengan pihak perempuan tadi bahwa anak kita ini akan dinikahkan
bila terjadi persetujuan tinggal penentu hari baik, kemudian pembacaan ijab
Kabul dan acara peresmian pengantin laki-laki pergi ketempat perempuan dan
tempat perempuan disambut pengantin laki-laki dengan acara gondang berogong dan
pencak silat, sementara laki-laki diiringi dengan dengan kesenian rebana burdah
ke tempat perempuan. Sampai ditempat perempuan disambut oleh pihak perempuan
dengan gondang berogong, kemudian diarak pengantin laki-laki sebelumnya diawali
dengan pantun barulah dibenarkan si mempelai laki-laki masuk yang terlebih
dahulu harus membayar cukai negeri. Kalau sudah dibayar barulah pihak laki-laki
ini bisa masuk ke pelaminan perempuan dalam persandingan acaranya, yaitu tepung
tawar. Yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana bahan tepung tawar terdiri
dari air limau, kemudian beras tepung yang warnanya empat macam. Pertama hitam,
kedua kuning, ketiga biru, keempat putih, jadi kalau yang hitam yang akan
menepung tawarkan ini bagian tokoh atau kelompok adat yang hitam, sementara
warna kuning diperuntukkan bagi penguasa atau orang pemerintahan, warna biru
untuk orang banyak, dan warna putih untuk alim ulama, keesokan harinya
datanglah utusan dari perempuan untuk menjemput pengantin laki-laki, ada yang
dijemput ditengah jalan, sesuai dengan hasil mufakat, ada yang tidak pakai
jemput atau datang langsung.
b.Adat Pergaulan Kekerabatan
Dalam interaksi sosial budaya pada
kehidupan masyarakat etnis Melayu dilandasi oleh adat istiadat yang kental
dengan nila-nilai Islam. Dalam masyarakat Melayu norma-norma adat saat ini
masih berlaku. Biasanya mamak (adik dari ibu) lebih dekat kepada kemenakan.
Karena didasarkan atas garis ibu efek yang dapat dilihat adalah setiap satu
keluarga lebih banyak dan lebih dekat dengan keluarga ibu atau keluarga
perempuan. Sementara adanya penyebutan seorang anak kepada adik atau abang dari
pihak orang tua laki-laki pergaulannya kurang begitu dekat tidak seperti
kedekatan seorang kemenakan dengan mamaknya.
c.Stratifikasi Sosial
Pada masyarakat Melayu ditemukan
stratifikasi sosial yang telah berlangsung turun temurun yaitu :
a. Golongan bangsawan
b.Golongan kebanyakan atau rakyat biasa
Golongan bangsawan adalah golongan yang
berasal dari keturunan raja-raja yang ditandai dengan sebutan Tengku, sementara
golongan rakyat biasa dalam masyarakat Melayu terdiri dari suku-suku :
1.Suku-suku yang berada di Rokan Kanan
yaitu :
a.
Suku
Melayu
b.
Suku
Ampu
c.
Suku
Kuti
d.
Suku
Kandang Kopuh
e.
Suku
Seberang
f.
Suku
Pungkut
g.
Suku
Mais
h.
Suku
Bonur
i.
Suku
Monoiling
j.
Suku
Nan Seratus
k.
Suku
Nan Lima Puluh
2.Suku-suku yang berada di Rokan Kiri
yaitu :
a.
Suku
Mais
b.
Suku
Petopang Maharajo
c.
Suku
Melayu Pekumo
d.
Suku
Bondang
e.
Suku
Tjaniago
f.
Suku
Petopang Rajo Maharajo
g.
Suku
Petopang Rajo Nan Besar
h.
Suku
Melayu Djalelo Angso
i.
Suku
Melayu Majo Indo
j.
Suku
Melayu Setia Rajo
k.
SukuMonliang
l.
Suku
Domo
d.Bahasa Melayu Rokan Hulu
Masyarakat Melayu Rokan Hulu memiliki
bahasanya sendiri, yaitu bahasa Rokan yang terdiri : bahasa Pasir/Rambah,
Bahasa Tambusai/Dalu-dalu, Bahasa Kepenuhan/Kota Tengah, Bahasa Rokan Empat
Koto dan Bahasa Ujung Batu.
2.4. Sejarah atau Asal Usul Kedatangan
a.
Huta
dan Banua
Wilayah pemukiman orang Mandailing
disebut Huta atau Banua. Sedangkan kehidupan sosial budaya orang mandailing
berlangsung di dalam huta yang memiliki satu kesatuan wilayah dengan
batas-batas tertentu. Sikap huta berada di bawah sistem pemerintahan sendiri
yang demokratis dan bersifat otonom yang dipimpin oleh seorang raja. Oleh
karena yang memimpin pemerintahan adalah seorang raja, maka huta atau banua
tersebut dapat disebut horajaon (kerajaan kecil) sesuai dengan cakupan
wilayahnya yang umumnya tidak begitu luas.
Menurut tradisi, yang diangkat menjadi
raja hanyalah kaum laki-laki saja, dan adanya sejumlah huta di mandailing
disebabkan oleh kepindahan orang-orang mandailing dari huta asal ke
tempat-tempat lain untuk mendirikan atau membuka tempat pemukiman baru (disebut
mamungka huta).
Etnis mandailing masuk ke Tambusai pada masa yang dipertuan raja ke VII kerajaan Tambusai, setelah raja tua,
maka tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang pertama Tengku
Raja Muda, sementara pada kerajaan Padang Gelugur yang diperintah oleh Sutan
perempuan (Raja Wanita) sedang terjadi perang saudara sehingga mereka mengalami
kekalahan lalu turun kebawah meninggalkan kerajaan Gelugur yang membawa dua
orang cucu yaitu anak keenam dari ketujuh dari Barora yaitu sutan Tua Raja
Sulot, dan adiknya Sutan Namora Raja (panyulot) dan tujuh keluarga/marga.
Pada saat itu etnis Mandailing menuju
Sosa Kerajaan Tambusai disitulah terjadi hubungan karena adanya hubungan
pernikahan dengan bernama Suri Lindung Bulan mereka diberi tempat tinggal di
Pisang Kolot selama 32 tahun barulah mereka pindah ke Kerajaan Rambah. Pada
kerajaan Melayu itu yaitu Tengku Raja Muda mempunyai keinginan untuk mendirikan
kerajaan baru ditengah perjalanan ke Rambah mereka bertemu kelompok orang
pertamanya berjumlah 100 dan yang ke dua berjumlah 50 orang kedua kelompok
orang itu memohon untuk bergabung dan untuk minta pekerjaan makanya yang
seratus orang diserahkan kepada adik Raja Tengku Raja Muda yaitu yang Dipertuan
Akhir Zaman dan yang 50 orang dipekerjakan sendiri oleh Tengku Raja Muda.
Tujuh kampung berawal dari perjanjian
oleh Dipertuan Akhir Zaman dengan rombongan perempuan yaitu Sutan Perempuan ke
Rambah isi perjanjian itu adalah :
1.
Sutan
Perempuan Ke Rambah dengan tugas mengusir orang-orang Lubuk sampai kerajaan
Rambah bebas dari kerajaan atau orang Lubuk
2.
Sutan
Perempuan (Orang Mandailing) diperbolehkan membuat perkampungan di daerah yang
didudukinya dan boleh mengatur adat istiadatnya sendiri sepanjang tidak
bertentangan dengana adat istiadat Kerajaan Rambah.
3.
Boleh
menyusun pemerintahan sendiri sepanjang tidak menentang Karajaan Rambah
4.
Sultan
Perempuan mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Rambah dan menantang semua
musuh dari luar
5.
Sutan
Perempuan tidak boleh mengadakan hubungan keluar kecuali dengan kerajaan Rambah
dan kalaupun ada hubungan keluar harus melalui Raja Rambah.
Perjanjian antara Raja Rambah dengan
Sultan Perempuan di Batang Samo, Batang Samo sendiri artinya karena kedua
kerajaan ini sama-sama bertemu di sungai dan sama-sama mencari kayu dan disitu
didirikan perkampungan untuk Sutan Perempuan (Mandailing). Perjanjian
antara Raja Rambah dengan Sultan Perempuan berbunyi :
1.
Sultan
Perempuan diberi hak untuk dapat menggunakan atau memakai tanah disebelah barat
sepanjang bukit barisan yang mana sekarang ini ditempati oleh orang Lubuk
secara tidak sah.
2.
Sutan
Perempuan diberi hak untuk mengusir seluruh orang Lubuk
3.
Sultan
Perempuan diberi hak pula untuk membangun negeri, dan dibenarkan membina dan
mengurus rombongan yang dibawa dari Tapanuli Selatan.
4.
Sultan
Perempuan boleh mengatur dan mendirikan adat istiadat sendiri dan boleh memakai
pakaian adat Mandailing berhak memakai pakaian kuning bagi Raja Mandailing.
5.
Tidak
boleh serang menyerang antara kerajaan Rambah dan rombongan Sutan Perempuan dan
apabila Kerajaan Rambah diserang dari luar supaya Sutan Perempuan dan rakyatnya
membantu Raja Rambah. Dan apabila orang Mandailing diserang dari luar tidak
mewajibkan Raja Rambah ikut membantu.
Pada saat terjadi peperangan di Kubu
Pauh, Kubu Patembang dan Kubu Baru dibuatlah perjanjian antara etnis Mandailing
dan etnis Melayu (Raja Rambah) yaitu :
Rombongan Sutan Perempuan diberi nama
Napitu Huta (Sutan Na Opat Mangaraja Natolu, dan Nan Beratur, Mangaraja
Marbaris) dimana diberi sutan atau mangaraja dan menjadi raja/kepala
kerapatan/hulu sembah negeri masing-masing dan diberi hak kekuasaan.
1.
Boleh
menghukum atau mengadili di negerinya
2.
Boleh
berhubungan dengan luar
3.
Boleh
mengambil hasil daerah
4.
Boleh
mengatur adat istiadat sendiri yaitu adat jujuran
5.
Boleh
menggunakan/memakai pakaian adat Raja Mandailing pakaian warna kuning.
Pada masa Raja Tengku Ibrahim gelar raja
yang dipertuan besar diberilah gelar atau hak bagi setiap kampung yaitu :
1.
Kubu
Baru atau Batang Samo pembesarnya bergelar Laut Api/Sutan Na Lobi, Sutan
Mangamar bagi Batang Samo.
2.
Haiti
dengan kebesaran Sutan Tuah disitu berganti dengan Sutan Laut Api
3.
Menaming
dengan kebesaran Sutan Kumalo Bulan, kemudian Tangun disitu Sutan Silindung
4.
Pawan
dengan Mangaraja Timbalan
5.
Tanjung
Berani dengan gelar Mangaraja Timbalan
6.
Sungai
Pinang dengan gelar Mangaraja Timbalan
Sutan Mangatur, Mangaraja Berbaris
adalah :
1.
Sigatal
kepala adatnya Sutan Bongsu
2.
Gunung
Intan kepala adatnya Sutan Mangabar/Sutan Simawal
3.
Huta
Lolot Tangun kepala adatnya Sutan Mangabar/Sutan Palembang
4.
Huta
Padang Tangun kepala adatnya Sutan Badullah/Mangaraja Kayo
5.
Langgar
Payung kepala adatnya Sutan Guru
6.
Rambahan
kepala adatnya Said mangaraja/Said Johor
7.
Muara
Katogan kepala adatnya Sutan Mongol/Sutan Perempuan
8.
Haiti
Hilir kepala adatnya Sutan Kumalo Gunung
9.
Sungai
Salak kepala adatnya Ja salindung/Ja Bangun
10.
Ujung
Padang Tangun kepala adatnya Mengaraja Lembang/Mangaraja Kayo
11.
Janji
Raja kepala adatnya mangaraja Khotib/mangaraja Putih
12.
Kepala
Bondar kepala adatnya Mangaraja Malim/Mangaraja Harang.
Dimana setiap Sutan tadi harus berinduk
sehingga adalah aturan di dalam suku Mandailing dimana Sutan Na Opat, Mangaraja
Na Tolu berbapak atau berinduk kepada Sultan Mahmud, kemudian Sutan Maratur
Marbaris berinduk kepada sutan laut api, dan setiap kampung itu yang berdiri di
Napitu Huta tunduk kepada sutan atau mangaraja yang ada di daerah tersebut.
Sementara sejarah kedatangan Mandailing
menurut Bapak Doli Siregar di Janji Raja. Kedatangan etnis Mandailing memiliki
priode-priode yaitu Tambusai selama empat puluh tahun, Rambah Samo, dan
terakhir sampai di Haiti.
Berdasarkan Tokoh masyarakat M. Nur
Daulay etnis Mandailing datang ke Rokan Hulu kira-kira enam ratus tahun.
Berkelompok semua tujuh suku datang dari Tapanuli Selatan karena peperangan di
Siantar perang saudara gara-gara tuan boru menghancurkan dan membakar
kampung-kampung dan rumah-rumah kemudian etnis Mandailing ini menyingkir dan
lari ke Riau yang bermukim di Bukit Rurang, Sosa (Muara Kacang Kolot)
Gunung Simbaktor, Gunung Simarawo-rawo.
Sementara tokoh masyarakat Yacub Siregar
menyatakan pada awalnya etnis Mandailing masuk daerah Rokan Hulu sebelum perang
Paderi berlangsung.
a.
Etnis
Jawa
Etnis Jawa datang ke Rokan Hulu
didasarkan pada program transmigrasi dan ada juga yang merantau sendiri-sendiri
seperti ada yang datang dari Medan (Sumatera Utara) yang merupakan bawaan
tentara Jepang yang dijadikan kuli atau buruh kontrak, berhubung tentara
Belanda keluar dari Rokan Hulu dan adanya informasi tanah yang tidak bertuan,
ada juga etnis yang datang ke Rokan Hulu sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok
yang terdiri dari lima orang atau empat orang (kelompok kecil) sebagian besar
dari Jawa Timur, Pacitan. Informasi di daerah dari kerabat-kerabat pada tahun
1995 etnis Jawa sudah datang ke Rokan Hulu. Pada saat gerakan PRRI pada tahun
1958 etnis Jawa sudah membuat suatu perkampungan di kawasan Rokan Hulu yang
disebut dengan Kampung Jawa.
Pemukiman tiap-tiap etnis pada saat ini
dapat dikatakan sudah terjadi pembauran yang cukup besar, hal ini terjadi
karena beberapa faktor diantaranya semakin kompleksnya kebutuhan atau
kepentingan-kepentingan dari etnis-etnis yang ada, faktor ekonomi, hubungan
sosial masyarakat, transportasi dan komunikasi walaupun demikian masih terdapat
pemukiman-pemukiman yang dominan oleh etnis-etnis tertentu.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Adat istiadat
merupakan salah satu
perekat sosial dalam
kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen,
seperti Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari masyarakat
yang beraneka ragam suku, budaya, agama serta mempunyai adat istiadat yang
berbeda-beda. Namun mereka tetap bersatu di dalam kebhinekaannya menjadi satu
kesatuan dalam wadah Negara Republik Indonesia. Dan pembauran masyarakat merupakan suatu keniscayaan seiring dengan proses perubahan di berbagai aspek kehidupan yang disebabkan oleh
adanya migrasi penduduk dari berbagai suku yang datang ke Kecamatan Tambusai.
Tambusai yang awalnya merupakan kerajaan
dan berkembang menjadi Kecamatan tentunya juga mengalami perubahan dari segi
adat istiadat di mana yang awalnya adat istiadat yang ada hanya merupakan
budaya suku Melayu bertambah dengan datangnya suku Mandailing dan suku Jawa didasarkan pada program transmigrasi dan
ada juga yang merantau sendiri-sendiri seperti ada yang datang dari Medan
(Sumatera Utara).
Sedangkan etnis mandailing sudah lebih dahulu masuk ke Tambusai pada masa yang dipertuan raja ke VII kerajaan Tambusai,
setelah raja tua, maka tampuk kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang pertama
Tengku Raja Muda, sementara pada kerajaan Padang Gelugur yang
diperintah oleh Sutan perempuan (Raja Wanita) sedang terjadi perang saudara
sehingga mereka mengalami kekalahan lalu turun kebawah meninggalkan kerajaan
Gelugur yang membawa dua orang cucu yaitu anak keenam dari ketujuh dari Barora
yaitu sutan Tua Raja Sulot, dan adiknya Sutan Namora Raja (panyulot) dan tujuh
keluarga/marga.
3.2. Saran-saran
1.
Adapun saran-saran yang ingin penulis
kemukakan yaitu sebagai berikut:
2.
Amalgamasi yang terjadi di Kecamatan Tambusai diharapkan lebihdapat menumbuhkan sikap toleransi dan bisa memahami etnis
dan budaya lain agar tercipta kedamaian dan kerukunan di dalam kehidupan rumah
tangga dan masyarakat.
- Asimilasi dan akulturasi yang terjalin dan terbina di dalam kehidupan
lembaga masyarakat maupun di dalam lenbaga keluarga tetap dipertahankan
kemudian diharapkan lebih menumbuhkan kesadaran, kepercayaan, dan sikap
keterbukaan yang tinggi lagi agar selalu tercipta kehidupan yang harmonis
dan baik.
- Masyarakat Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu,
harus lebih meningkatkan partisipasi di dalam pembauran masyarakat yang
multietnis di dalam berbagai aspek
5.
amalgamasi, asimilasi, dan akulturasi.
Guna menghindari timbulnya prasangka negatif yang berlebihan.
S1288poker Agen Poker Terpercaya No 1 di Indonesia.
ReplyDeleteAyo rasakan bermain Poker Online Uang Asli, dengan kualitas server terbaik di Indonesia, serta tampilan terbaru.
S1288poker, Agen Poker yang akan memberikan jaminan keamanan dalam bermain Poker Online tanpa robot.
Kami akan dengan senantiasa selalu memberikan pelayanan terbaik selama 24 jam setiap harinya. (PIN BBM : 7AC8D76B)