BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Adat istiadat
merupakan salah satu
perekat sosial dalam
kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen,
seperti Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari masyarakat
yang beraneka ragam suku, budaya, agama serta mempunyai adat istiadat yang
berbeda-beda. Namun mereka tetap bersatu di dalam kebhinekaannya menjadi satu
kesatuan dalam wadah Negara Republik Indonesia.
Budaya adalah suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistemagama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Asal mula Kerajaan Rambah berdiri dikarenakan saat Tengku Raja Muda
meminta kepada ayahnya untuk mendirikan sebuah kerajaan sendiri. Dengan
beberapa perjanjian. Dahulunya Wilayah Kerajaan Rambah masuk ke dalam Wilayah
Kerajaan Tambusai yang merupakan kerajaan terbesar di Rokan Hulu. Saat itu
Kerajaan Tambusai dipimpin oleh Yang Dipertuan Tua. Yang Dipertuan Tua mempunyai
tiga orang adik, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Yang Perempuan
bernama Siti Dualam, dan laki-laki Tengku Raja Muda dan Yang Dipertuan Akhir
Zaman.
Setelah perjanjian disetujui maka Tengku Raja Muda pun mendirikan sebuah
kerajaan sendri. Dan diberikan rakyat dan alat kebesaran. Dan Tengku Raja Muda
membuka Negri di Kalu Batang Lubuk. Dikarenakan Negri Kalu Batang Lubuk
dirambah oleh orang Tambusai maka negeri tersebut dinamakan Negeri
Rambah. Kerajaan Rambah pun berdiri dengan makmurnya. Setelah Tengku Raja
Muda mangkat maka posisi Raja digantikan oleh anaknya yang bergelar Yang
Dipertuan Besar.
Rambah adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, Indonesia. Rambah merupakan salah satu Kecamatan dari
16 Kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu yang sebagian besar wilayahnya terletak di
pusat Kota Pasir Pengaraian yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Rokan Hulu.
Luas wilayah Kecamatan Rambah adalah 394,65 km2 yang membawahi 1 Kelurahan dan
13 Desa.
Berdasarkan pembentukannya batas Kecamatan Rambah adalah sebagai
berikut: · Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bangun
Purba ·
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rokan IV Koto · Sebelah Barat Berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Barat ·
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Rambah Samo
Kepadatan Penduduk di Kecamatan Rambah per Oktober 2011 berjumlah 40.453
Jiwa yang terdiri dari 19.652 penduduk laki-laki (48,57%) dan 20.801 penduduk
Perempuan (51,43%). Serta jumlah Keluarga sebanyak 10.023 KK (Kepala Keluarga).
Wilayah kerja Pemerintahan Kecamatan Rambah meliputi Satu Kelurahan dan
Tiga Belas Desa yang terdiri 57 Dusun / Lingkungan, 118 Rukun Warga ( RW ), dan
240 Rukun Tetangga ( RT ).
Suku
Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun
matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di
Mandailing hanya dikenal belasan marga saja berbeda di suku Batak lainnya,
yang mengenal hampir 500 marga.
Upacara Adat saat ini yang sering dilakukan masyarakat
mandailing adalah: (1) Upacara Adat Siriaon/Horja Haroan Boru/Pabuat
Boru(Upacara Adat Perkawinan), (2) Upacara
Adat Siluluton/Mambulungi (Upacara Adat Kematian) dan
(3) Horja Siulaon (Upacara Adat Berkarya).
Etnis Jawa datang ke Rokan Hulu didasarkan pada program
transmigrasi dan ada juga yang merantau sendiri-sendiri seperti ada yang datang
dari Medan (Sumatera Utara) yang merupakan bawaan tentara Jepang yang dijadikan
kuli atau buruh kontrak, berhubung tentara Belanda keluar dari Rokan Hulu dan
adanya informasi tanah yang tidak bertuan, ada juga etnis yang datang ke Rokan
Hulu sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang
atau empat orang (kelompok kecil) sebagian besar dari Jawa Timur, Pacitan.
Informasi di daerah dari kerabat-kerabat pada tahun 1995 etnis Jawa sudah
datang ke Rokan Hulu. Pada saat gerakan PRRI pada tahun 1958 etnis Jawa sudah
membuat suatu perkampungan di kawasan Rokan Hulu yang disebut dengan Kampung
Jawa.
Pemukiman tiap-tiap etnis pada saat ini dapat dikatakan sudah
terjadi pembauran yang cukup besar yang tentunya sudah masuk ke Tambusai, hal
ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya semakin kompleksnya kebutuhan
atau kepentingan-kepentingan dari etnis-etnis yang ada, faktor ekonomi,
hubungan sosial masyarakat, transportasi dan komunikasi walaupun demikian masih
terdapat pemukiman-pemukiman yang dominan oleh etnis-etnis tertentu. Adapun
adat istiadat orang jawa menganut paham patrilinial dimana sang anak mengikuti
garis keturunan.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimakah
Sejarah Kec. Rambah ?
2.
Darimanakah
Asal Nama – nama Lima Luhak ?
3.
Bagaimanakah
Adat Istiadat Perkawinan di Kec. Rambah
?
1.3.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui Sejarah Kec. Rambah.
2.
Untuk
mengetahui Asal Nama Lima Luhak.
3.
Menambah Ilmu
Pengetahuan tentang Adat Istiadat Perkawinan di Kec. Rambah.
BAB II
PEMBAHASAB
2.1. Sejarah Kecamatan Rambah
Kerajaan Rambah merupakan kerajaan
yang masuk ke dalam Wilayah Rokan Kanan. Dahulu Rokan Hulu dikenal dengan nama
Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena daerah ini merupakan daerah
perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat.
Kerajaan Rambah masuk ke dalam Rokan
Kanan pada masa sebelum kemerdekaan yaitu pada masa penjajahan kolonial
Belanda. Yang mana pada wilayah Rokan Kanan terdiri dari beberapa kerajaan
yaitu Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan.
Adapun Rokan Kiri terdiri dari
Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari
Kerajaan Siak (Kewalian Negri Tandun dan Kewalian Kabun). Kerajaan-kerajaan
yang ada di Rokan Kanan dan Rokan Kiri dikenal dengan sebutan Lima Lukah.
Barulah pada tahun 1905, kerajaan yang
ada di Rokan Kanan dan Rokan Kiri mengikat perjanjian dengan pihak Belanda dan
diakuilah berdrinya kerajaan-kerajaan ini sebagai landscape. Adapun setiap
peraturan yang dibuat kerajaan mendapatkan pengesahan dari Belanda.
Asal mula Kerajaan Rambah berdiri
dikarenakan saat Tengku Raja Muda meminta kepada ayahnya untuk mendirikan
sebuah kerajaan sendiri. Dengan beberapa perjanjian. Dahulunya Wilayah Kerajaan
Rambah masuk ke dalam Wilayah Kerajaan Tambusai yang merupakan kerajaan
terbesar di Rokan Hulu. Saat itu Kerajaan Tambusai dipimpin oleh Yang Dipertuan
Tua. Yang Dipertuan Tua mempunyai tiga orang adik, dua orang laki-laki dan
seorang perempuan. Yang Perempuan bernama Siti Dualam, dan laki-laki Tengku
Raja Muda dan Yang Dipertuan Akhir Zaman.
Setelah perjanjian disetujui maka
Tengku Raja Muda pun mendirikan sebuah kerajaan sendri. Dan diberikan rakyat
dan alat kebesaran. Dan Tengku Raja Muda membuka Negri di Kalu Batang Lubuk.
Dikarenakan Negri Kalu Batang Lubuk dirambah oleh orang Tambusai maka negeri
tersebut dinamakan Negeri Rambah. Kerajaan Rambah pun berdiri dengan
makmurnya. Setelah Tengku Raja Muda mangkat maka posisi Raja digantikan oleh
anaknya yang bergelar Yang Dipertuan Besar.
Adapun isi dalam perjanjian tersebut
ialah: “Pertama-tama apabila menaikkanlah pihak kami akan raja/kerajaan,
melainkan raja Tambusyai-lah akan menaikkan kami hingga sampai kepada anak cucu
kami. Dan kedua apabila putus raja yang kerajaan pihak kami yang pergi ini,
melainkan raja Tambusyai-lah yang boleh menggantikannya. Ketiga janganlah
berdengki aniaya antara dua pihak itu. Keempat apabila suku pihak yang di
Tambusai masuk pihak kami, atau suku pihak yang kami/suku/ masuk pihak yang
tinggal di Tambusyai, yang tidaklah boleh ditegah dan dilarang. Kelima apabila
pihak kami yang pergi itu tiada menurut adat pusaka, melainkan bolehlah ia
pulang ke Tambusyai. Segala rakyat yang pergi itu, raja Tambusyai empunya
rakyat yang tidak boleh ditegah dilarang. Keenam apabila mengikut raja kepada
pihak yang pergi itu, melainkan segeralah memberitahu kepada Tambusyai,
mengantarkan baju helat dan syahab muka, di Tambusyai demikian juga”.
Selama kerajaan Rambah berdiri inilah
para pimpinan raja-raja yang ada.
Raja I. Yang Dipertuan Muda
Raja II. Yang Dipertua Besar
Raja III. Yang Dipertuan Djumadil Alam
Raja IV. Yang Dipertuan
Raja V. Yang Dipertuan Besar
Raja VI. Yang Dipertuan Besar
Raja VII. Yang Dipertuan Besar
Raja VIII. Yang Dipertuan Besar
Raja IX. YanG Dipertuan Besar Rambah
Raja X. Yang Dipertuan Djumadil Alam
Sari 1901
Raja XI. Mohamad Syarif Yang Dipertuan
Besar
Raja XII. Sultan Zainal Puan Kerajaan
Rambah
Raja XIII. Sultan Mahmud Manjang
Raja XIV. Tengku Saleh Yang Dipertuan
Besar Rambah.
2.2.
Adat Istiadat Perkawinan
Sebagai daerah yang masuk ke wilayah Riau Rambah tentu
didominasi oleh suku Melayu dimana sistem kekerabatan etnis Melayu adalah
matriakat, atau garis keturunan dari garis ibu. Pada umumnya pola pikir suku
Melayu ingin anak kemenakannya itu setara dengan suku-suku lain, susunan
keluarga diatur oleh perempuan, sehingga perempuan yang memegang peranan, dari
dasar perempuan yang menyusun kekerabatan tadi itulah yang diikuti yang disusun
adalah anak-anak yang kira-kira mampu memegang keutuhan suku artinya dengan
suku-suku pendatang itulah masing-masing mencari jati dirinya, ada juga karena
facktor keturunan itu dibarengi dengan pendidikan. Dalam sistem kekerabatan
etnis Melayu ada yang dikenal dengan Datuk Suku (Kepala Suku) yaitu pimpinan
suku, mamak (Adik dari Ibu).
Adat istiadat etnis Melayu pada saat terdiri dari
kesenian, seperti pencak silat berfungsi menjaga diri, acara nikah, kemudian
Gondang berogong. Umumnya pakaian adat melayu Rokan Hulu sama dengan Melayu
Riau, kaluarga yang laki-laki pakai teluk belangan, pakai songket kalau
perempuan pakai songket dan kebaya panjang kemudian ada sanggul di atasnya
kemudian celempang kalau warna pakaian kuning biasanya diumpamakan raja sehari,
pakaian adat warna hitam, warna hitam melambangkan ia mempunyai kekuatan adat
yang dipercayai oleh anak kemenakan, untuk bangsawan warna pakaiannya berwarna
kuning. Jadi kalau dalam tata cara pernikahan suku melayu Rokan Hulu pertamanya
itu ada namanya sulu-sulu ayia. Maksud sulu-sulu ayia itu, maksudnya orang di
sungai itu sambil mencuci ibu-ibu membicarakan anak orang dengan anak orang
lain yang dianggap sudah pantas untuk menikah, bila tahap pertama tadi
berkembang maka tugas laki-laki mendatangi pihak perempuan untuk membicarakan
rencana lamaran, maka dilakukanlah musyawarah atau kesepakatan keluarga, kalau
setuju sepakat ikut mamak yaitu adik ibu, cocok lagi baru ke mamak kedua belah
pihak begitu lalu naik lagi satu tingkat lagi ke acara pertunangan, tunangan
disuruh kumpulan kedua belah pihak keluarga tadi untuk membcarakan rencana
lamaran, maka dilakukan musyawarah atau kesepakatan keluarga, kalau setuju
tingkat lagi sepakat ikut mamak yaitu adik ibu, cocok lagi baru ke mamak adat
kedua belah pihak begitu lalu naik lagi satu tingkat lagi ke acara pertunangan,
tunangan disuruh kumpulah kedua belah pihak keluarga tadi untuk membicarakan
kalau disitu isinya kapan hari pernikahannya dilaksanakan, berlanjut ke tahap
padan janji itu adalah hasil mufakat antara pihak laki-laki dengan pihak
perempuan tadi bahwa anak kita ini akan dinikahkan bila terjadi persetujuan
tinggal penentu hari baik, kemudian pembacaan ijab Kabul dan acara peresmian
pengantin laki-laki pergi ketempat perempuan dan tempat perempuan disambut
pengantin laki-laki dengan acara gondang berogong dan pencak silat, sementara
laki-laki diiringi dengan dengan kesenian rebana burdah ke tempat perempuan.
Sampai ditempat perempuan disambut oleh pihak perempuan dengan gondang
berogong, kemudian diarak pengantin laki-laki sebelumnya diawali dengan pantun
barulah dibenarkan si mempelai laki-laki masuk yang terlebih dahulu harus
membayar cukai negeri. Kalau sudah dibayar barulah pihak laki-laki ini bisa
masuk ke pelaminan perempuan dalam persandingan acaranya, yaitu tepung tawar.
Yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana bahan tepung tawar terdiri dari
air limau, kemudian beras tepung yang warnanya empat macam. Pertama hitam,
kedua kuning, ketiga biru, keempat putih, jadi kalau yang hitam yang akan
menepung tawarkan ini bagian tokoh atau kelompok adat yang hitam, sementara warna
kuning diperuntukkan bagi penguasa atau orang pemerintahan, warna biru untuk
orang banyak, dan warna putih untuk alim ulama, keesokan harinya datanglah
utusan dari perempuan untuk menjemput pengantin laki-laki, ada yang dijemput
ditengah jalan, sesuai dengan hasil mufakat, ada yang tidak pakai jemput atau
datang langsung.
Dalam interaksi sosial budaya pada kehidupan masyarakat etnis
Melayu dilandasi oleh adat istiadat yang kental dengan nila-nilai Islam. Dalam
masyarakat Melayu norma-norma adat saat ini masih berlaku. Biasanya mamak (adik
dari ibu) lebih dekat kepada kemenakan. Karena didasarkan atas garis ibu efek
yang dapat dilihat adalah setiap satu keluarga lebih banyak dan lebih dekat
dengan keluarga ibu atau keluarga perempuan. Sementara adanya penyebutan
seorang anak kepada adik atau abang dari pihak orang tua laki-laki pergaulannya
kurang begitu dekat tidak seperti kedekatan seorang kemenakan dengan mamaknya.
Pada masyarakat Melayu ditemukan stratifikasi sosial yang
telah berlangsung turun temurun yaitu :
a. Golongan bangsawan
b.Golongan kebanyakan atau rakyat biasa
Golongan bangsawan adalah golongan yang berasal dari
keturunan raja-raja yang ditandai dengan sebutan Tengku, sementara golongan
rakyat biasa dalam masyarakat Melayu terdiri dari suku-suku :
1.Suku-suku yang berada di Rokan Kanan yaitu :
a.
Suku
Melayu
b.
Suku
Ampu
c.
Suku
Kuti
d.
Suku
Kandang Kopuh
e.
Suku
Seberang
f.
Suku
Pungkut
g.
Suku
Mais
h.
Suku
Bonur
i.
Suku
Monoiling
j.
Suku
Nan Seratus
k.
Suku
Nan Lima Puluh
2.Suku-suku yang berada di Rokan Kiri yaitu :
a.
Suku
Mais
b.
Suku
Petopang Maharajo
c.
Suku
Melayu Pekumo
d.
Suku
Bondang
e.
Suku
Tjaniago
f.
Suku
Petopang Rajo Maharajo
g.
Suku
Petopang Rajo Nan Besar
h.
Suku
Melayu Djalelo Angso
i.
Suku
Melayu Majo Indo
j.
Suku
Melayu Setia Rajo
k.
SukuMonliang
l.
Suku
Domo
d.Bahasa Melayu Rokan Hulu
Masyarakat Melayu Rokan Hulu memiliki bahasanya
sendiri, yaitu bahasa Rokan yang terdiri : bahasa Pasir/Rambah, Bahasa
Tambusai/Dalu-dalu, Bahasa Kepenuhan/Kota Tengah, Bahasa Rokan Empat Koto dan
Bahasa Ujung Batu.
2.3. Asal Nama-nama Lima Luhak
Luhak artinya kelompok kampong terbesar disebuah kerajaan,
ada lima luhak dan dua kewalian di Rokan Hulu pada zaman terbentuknya
kerajaan-kerajaan kecil ini setelah runtuhnya kerajaan Roka Tua yaitu : Luhak
Tambusai, luhak Rambah, luhak kepenuhan, luhak Kunto Darussalam, Luhak Rokan IV
Koto, kewalian Tandun, kewalian Kabun. Konon cerita terbentuknya nama luhak ini
disebabkan perlakuan dari kerajaan berdirinya kerajaan-kerajaan itu.
1.
Luhak
Tambusai
Luhak Tambusai konon disebut sebgai luhak tertua, dimana
cikal bakal terjadinya luhak kepenuhan, Rambah dan Kunto Darussalam. Awal
berdirinya kerajaan Tambusai di Karang Besar, lalu berpindah-pindah dari satu
tempat ke tampat yang lain, ada yang menyebutkan sampai 16 kali perpindahan,
sehingga kerajaan tersebut tiada tenang dan timbul kerugian-kerugian karena
perilaku berkumpul lalu bubar atau usai, begitu seterusnya akibat
berpindah-pindah. Dari peristiwa berpindah-pindah lalu berkumpul, berpindah
lagi, berkumpul lagi maka disebutlah kerajaan ini Tambusai yaitu dari asal kata
tambun (berhimpun atau berkumpul), usai (pindah atau bersebar) menjadilah
Tambun-usai, disebut juga dengan Luhak tambusai panggilan pada masyarakat adat
sekarang.
Ada pula yang mengatakan Tambusai itu adalah darikata
tombusan sebuah lobang tembusan antara sungai Sosah dan sungai Batang Lubuh
dimana tempat ini adalah jalur penghuni sungai Rokan yaitu Sutan Ponyalinan
berlalu lalang, suatu ketika terjadi kehilangan dikalangan keluarga raja,
dimana seorang anak gadisnya telah hilang saat mandi di sungai sosah, sudah
puas mencari akhirnya anak gadis itu ditemui disebuah lobag dengan keadaan
tidak kotor dan segar bugar.ditanyailah gadis itu, darimana saja tuan putrid
menghilang selama tiga hari. Putrid menjawab, aku bertamasya bersama seorang
pemuda gagah bernama sutan Ponyalinan, ia membawaku ketiga tempat yang indah
ang tiada pernah kulihat selam ini. Apa yang diperbuat sutan Ponyalinan itu
terhadap dirimu, Tanya keluarga lainnya. Tida terjadi apa-apa hanya melancong
saja, dan makan bersama bersama keluarga beliau, katanya hari itu adalah hari
terjadinya sungai Rokan, dan mereka mengadakan rapat paripurna dibentuknya
daulat-daulat Rokan kanan dan Rokan Kiri. Dengan rasa penasaran pertanyaan
terus diberikan kepada tuan putri, siapa pemimpin mereka, saya hanya berjabat
tangan dan beliau menyebutkan namanya, beliau bernama Tuk Saih Panjang
Jangguik.
Demikianlah perjalanan tamasya tuan putrid kesebuah tombusan
sehingga dengan petunjuk dari tuan putrid dibuatlah nama kerajaan Tombusai yang
sekarang disebut Luhak Tambusai.
Suku-suku yang ada di Luhak Tambusai ini dahulunya adalah
Melayu, Ampu, Kuti, Kandang Kopuoh, Soborang, Pungkuik, Mais, Bonuo, dan
monoiliang dengan Gelar Datuk dari 9 suku tersebut
yaitu :
- Suku Melayu
dengan gelar Datuk Pusako Rangkayo Naro
- Suku Ampu
dengan gelar Datuk Sinaro Mudo
- Suku Kuti
dengan gelar Datuk Paduko Jo Sianso, Datuk Paduko Laksmano atau Datuk
Paduko Jo Lelo
- Suku Kandang
Kopuh dengan gelar Datuk Kuti Anso
- Suku Soborang
dengan gelar Datuk Rangkayo Maharajo
- Suku Pungkuik
dengan gelar Datuk Rangkayo Morajo
- Suku Maih
dengan gelar Datuk Tomogong Kayo
- Suku Bonuo
dengan gelar Datuk Bonuo Ampu
- Suku Muniliang dengan gelar Datuk
Paduko Tuo
2.
Luhak
Rambah
Setelah berkembang kerajaan ini dan melakukan perambahan
dengan cara merambah hutan, tepatnya di sungai Kumpai, desa kumu sekarang, 12
km dari Pasirpengaraian, maka berdirilah kerajaan Rambah dengan dinobatkan
seorang anak raja dari Tambusai bernama Tengku Tunggal Kuning atau yang
dipertuan muda. Maka tersohorlah kerajaan ini dan dibuat karang janji yan
mengatur kehidupan kerajaan kedua belah pihak.
Akhirnya masa sekarang disebut dengan luhak Rambah. Adapun
suku yang beradat ke luhak Rambah adalah Melayu, Ampu, Pungkuik, Kandang Kopuh,
dan Kuti.
3.
Luhak
Kepenuhan
Kerajaan ini terbentuk semasa kerajaan Tambusai dibawah
kekuasaan yang dipertuan tua (raja ke-7) berawal kedatangan sejumlah rombongan
memasuki sungai Rokan, lengkap dengan orang-orang besarnya, mula-mula hendak
menetap di kuala batang sosa, mengutus 11 orang dari kelompok tersebut
menghadap raja Tambusai
Permohonan dari wakil 11 tersebut diterima dengan izin untuk
sekedar berkebun dan berladang, namun ada gejala perpecahan. 7 pihak ingin
tinggal di Batang Sosa sedangkan 4 pihak ingin pindah ke pulau Lontar, selain
perpecahan kelompok yang tujuh dimasa itu terjadi kekejaman dan kezaliman pada
kelompok yang tujuh.
Kata-kata kepenuhan dimabil dari istilah “keponohan” yang
mana didaerah ini telah banyak kelompok-kelompok pendatang yang memenuhi tempat
ini sehingga disebutlah terbentuklah kerajaan kepenuhan.
Ada[un suku yang beradat disini adalah suku Melayu, suku
Moniliang, suku Pungkuik, suku Kandang Kopuh ,suku Mais, suku Kuti, suku Ampu
4.
Luhak
Kunto Darussalam
Kunto Darussalam banyak dipengaruhi oleh kerajaan Siak Sri
Indrapura, sehingga nama-nama Kunto Darussalam adalah nama-nama kota Islam
dimasa itu. Adapun suku yang beradat disini kebanyakan suku Melayu, Moniliang,
dan Pukomo.
5.
Luhak
Rokan IV Koto
Kerajaan Rokan di negeri Rokan IV Koto pada awalnya tumbuh
tiada hubungan dengan kerajaan Tambusai, menurut riwayat mereka mengambil
keturunan raja dari Pagaruyung melalui Padang Nunang Rao.
Pelopor pertama memasukkan ajaran Islam kedaerah ini adalah
Sultan Harimau dari kerajaan Kunto Darussalam, negeri asal terletak diatas
suatu bukit diantara Lubuk Bendahara dengan negeri Rokan.
Tempat inilah mulanya ajaran Islam dipusatkan, suatu tempat
belajar ibadah sehingga disebut teluk sembahyang.
Daerah yang terbesar pada mulanya adalah Rokan, Pendalian,
Sekebau, dan Lubuk Bendahara. Nama-nama ini dalam adat besarnya sesuai denga
urutannya, itulah sebabnya asal bermula sampai dinamakan Negeri Rokan IV Koto.
Kedudukan raja dimasa itu ditempatkan di Rokan, tetapi Lubuk
Bendahara merupakan tempat yang ramai disinggahi pedagang dari Sumatera Barat.
Adapun suku yang beradat disini adalah suku Mais, suku Bendang, suku Melayu
Pokomo, suku Caniago, suku Petopang, suku Moniliang dan Pongolu Pasa
(pemerintah dalam hal penanggung jawab sebelum masuk suku)
Adapun asal usul lima luhak tersebut dalah ujud dari
pelancongan yang dilakukan tuan putrid kerajaan Tambusai yang mengikuti siding
paripurna pembentukan daulat dua wilayat tersebut. Adapun tiga tempat itu
adalah sungai Rokan Kanan, sungai Rokan Kiri, dan sungai Sosa. Sungai Sosa dan
sungai Rokan Kanan berdaulat menjadi Okan Kanan, sedangkan Kunto
Darussalam dan Rokan IV Koto berdaulat kepada Rokan Kiri.
2.4. Sejarah
atau Asal Usul Kedatangan
•Etnis melayu
Menurut sejarah kerajaan Rokan telah ada pada abad ke
13 pertama kali berpusat di Koto Intan suatu daerah dekat Kotalama dan
berpindah-pindah sampai ke Pekaitan dan akhirnya di Rantau Kasai. Setelah
kerajaan di Pekaitan runtuh dan Rajanya melarikan diri ke siarang-arang, maka
berabad-abad tidak disebutkan lagi dalam sejarah sekitar Selat Malaka sampai
berbentuk kerajaan-kerajaan kecil di Rokan bagian hulu dan hilir.
Rokan Hulu terbentuk menjadi lima luhak, masing-masing
3 luhak di Rokan Kanan (Luhak Tambusai, rambah dan Kepenuhan) dan dua luhak di
Rokan Kiri (Luhak Rokan IV Koto dan Kunto Darusslam). Hal ini didasarkan dari
kerajaan yang terbentuk pada masa dahulu.
Etnis yang menempati Luhak Rambah pada masa dahulu
adalah etnis Melayu dan etnis Mandailing. Suku Melayu terutama di Luhak
Rambah asal usulnya dari daerah Tambusai, dimasa dahulu yang dipertuan Tua Raja
ke VII kerajaan Tambusai memiliki dua orang putra dan satu puteri yaitu anak
dari para gundik dan yang satu anak dari pada Gaharu, istilahnya gaharu adalah
istri raja atau keturunan bangsawan sementara gundik itu orang kebanyakan, oleh
raja pada waktu ingin kedua anaknya memerintah yang bernama :
1.T.M.Ali Bahar Gelar Tengku Raja Muda
2.T.Al Mukamil Gelar yang dipertuan akhir zaman
3.Siti Dualam
Jadi jelas Rambah merupakan adik dari kerajaan
Tambusai. Pada masa itu Raja Tambusai mempunyai dua orang anak.
Setelah selesai melihat wilayah yang akan dijadikan
awal kerajaan Rambah, Tengku Raja Muda dan rombongan menghadap keluarga dengan
akhir kata diberilah kerajaan Tambusai oleh Raja Tua kepada anaknya yang
pertama sementara yang dipertuan akhir zaman diberi selembang karang, 9
persukuan lengkap dengan orang besar 4 orang di Balai dan suku anak raja-raja
sebanyak 5 induk yang dipakai oleh Tengku Muhammad, sementara anak raja yang
akan menjadi Raja Rambah ini diberilah senjata Pedang Berikat dan Sinambung
Songsang dan 7 persukuan lengkap dengan datuk-datuk dan suku anak raja sebanyak
3 buah induk yang dikepalai oleh Sutan Mahmud, disitulah dibuat suatu sumpah yang
berbunyi :
1.Apabila kami dari kerajaan Rambah hendak mengangkat
Raja kerajaan, kerajaan Tambusailah yang berhak mengangkat atau menambalkannya,
turun-temurun hingga ke anak cucu.
2.Apabila putus tidak ada keturunan dari kami yang
berhak menjadi Raja Rambah. Raja Tambusailah yang berhak menggantikannya.
3.Antara kerajaan yang ada hendaklah bersatu padu
terutama antara kerajaan Tambusai dan kerajaan Rambah tidak boleh bermusuhan,
berdengkian, dan aniaya.
4.Setiap suku pihak Tambusai yang ingin masuk ke Rambah
atau sebaliknya tidak boleh dilarang, halang-menghalangi dan dihukum.
5.Apabila pihak yang Rambah tidak mematuhi ada pusaka
dibenarkan kembali ke Tambusai tanpa ada larangan dan tuntutan.
6.Kalau Raja Rambah mangkat hendaklah segera memberi
tahu ke kerajaan Tambusai, dengan memakai baju warna coklat.
Sebab muka seandainya kami mengubah, melanggar sumpah
setia ini maka ditimpa daulat beberapa tinggang dari datuk, nenek kita, serta
dikutuk oleh sultan Maharaja Diraja Alam Pagaruyung, dengan dasar inilah satu
diberikan daerah lain yaitu daerah Rambah, asal muasal kalimat Rambah
dikarenakan daerah yang akan dijadikan wilayah, atau dirambahkanlah itu satu
daerah. Kerajaan Rambah kemudian pindah ke pasir pengaraian.
•Etnis Mandailing
Keberadaan suku bangsa Mandailing yang bermukim di
wilayah Rokan Hulu merupakan komunitas yang cukup tersebar merata di setiap
wilayah Rokan Hulu. Berhubungan dengan suku bangsa Mandailing di tanah Rokan
Hulu tentu tidak lepas dari asal usul suku Mandailing itu sendiri dimana mandailing
berasal dari kata mande hilang (dalam bahasa Minangkabau) yang artinya “ibu
yang hilang”. Versi lain mengatakan bahwa nama mandailing berasal dari kata
mandala holing, adalah satu kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad
ke-12. Cakupan wilayah kerajaan mandala holing diperkirakan terbentang dari
portibi di padang lawas hingga ke Pidoli di dekat Penyabungan Mandailing
Godang. Berkaitan dengan hal ini, orang-orang Mandailing juga sering menyebut
kata holing yang bagi mereka mungkin memiliki arti yang cukup penting, seperti
tertuang dalam ungkapan berikut ini :
…muda tartiop opat na
ni paspas naraco holing
ni ungkap buntil ni adat
ni suat dokdok ni hasalaan
ni dabu utang dohot baris…
Ungkapan di atas kurang lebih berarti, bahwa untuk
mengadili seseorang harus didasarkan kepada empat syarat yaitu :
1.Naraco Holing (suatu lambang pertimbangan yang
seadil-adilnya) dibersihkan
2.Ketentuan adat
3.Diukur beratnya kesalahan
4.Hukuman
Selain itu, kata holing juga terdapat dalam ungkapan
surat tumbaga holing na so rasasa, yang secara harfiah artinya”surat tumbaga
holing yang tidak mau hapus”. Maksudnya adalah bahwa ketentuan adat-istiadat
tersebut akan tetap menjadi panutan hidup orang Mandailing selama-lamanya.
Terminologi Mandailing mengandung dua macam pengertian
yang tidak sama, akan tetapi keduanya saling mengikat dan tidak terpisahkan,
yaitu pengertian budaya dan territorial. Dalam pengertian”budaya”, Mandailing
adalah salah satu kelompok etnik atau suku bangsa. Karena menurut
Koentjaraningrat, suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh
kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangka kesadaran dan
identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Sedangkan dalam
pengertian “territorial”, mandailing adalah salah satu wilayah tertentu yang
terletak di kabupaten Tapanuli selatan Propinsi Sumatera Utara.
•Huta dan Banua
Wilayah pemukiman orang Mandailing disebut Huta atau
Banua. Sedangkan kehidupan sosial budaya orang mandailing berlangsung di dalam
huta yang memiliki satu kesatuan wilayah dengan batas-batas tertentu. Sikap
huta berada di bawah sistem pemerintahan sendiri yang demokratis dan bersifat
otonom yang dipimpin oleh seorang raja. Oleh karena yang memimpin pemerintahan
adalah seorang raja, maka huta atau banua tersebut dapat disebut horajaon
(kerajaan kecil) sesuai dengan cakupan wilayahnya yang umumnya tidak begitu
luas.
Menurut tradisi, yang diangkat menjadi raja hanyalah
kaum laki-laki saja, dan adanya sejumlah huta di mandailing disebabkan oleh
kepindahan orang-orang mandailing dari huta asal ke tempat-tempat lain untuk
mendirikan atau membuka tempat pemukiman baru (disebut mamungka huta).
Etnis mandailing masuk ke Rokan hulu pada masa yang
dipertuan raja ke VII kerajaan Tambusai, setelah raja tua, maka tampuk
kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang pertama Tegku Raja Muda, sementara
pada kerajaan Padang Gelugur yang diperintah oleh Sutan perempuan (Raja Wanita)
sedang terjadi perang saudara sehingga mereka mengalami kekalahan lalu turun
kebawah meninggalkan kerajaan Gelugur yang membawa dua orang cucu yaitu anak
keenam dari ketujuh dari Barora yaitu sutan Tua Raja Sulot, dan adiknya Sutan
Namora Raja (panyulot) dan tujuh keluarga/marga.
Pada saat itu etnis Mandailing menuju Sosa Kerajaan
Tambusai disitulah terjadi hubungan karena adanya hubungan pernikahan dengan
bernama Suri Lindung Bulan mereka diberi tempat tinggal di Pisang Kolot selama
32 tahun barulah mereka pindah ke Kerajaan Rambah. Pada kerajaan Melayu itu
yaitu Tengku Raja Muda mempunyai keinginan untuk mendirikan kerajaan baru
ditengah perjalanan ke Rambah mereka bertemu kelompok orang pertamanya
berjumlah 100 dan yang ke dua berjumlah 50 orang kedua kelompok orang itu
memohon untuk bergabung dan untuk minta pekerjaan makanya yang seratus orang diserahkan
kepada adik Raja Tengku Raja Muda yaitu yang Dipertuan Akhir Zaman dan yang 50
orang dipekerjakan sendiri oleh Tengku Raja Muda.
Tujuh kampung berawal dari perjanjian oleh Dipertuan
Akhir Zaman dengan rombongan perempuan yaitu Sutan Perempuan ke Rambah isi
perjanjian itu adalah :
1.Sutan Perempuan Ke Rambah dengan tugas mengusir
orang-orang Lubuk sampai kerajaan Rambah bebas dari kerajaan atau orang Lubuk
2.Sutan Perempuan (Orang Mandailing) diperbolehkan
membuat perkampungan di daerah yang didudukinya dan boleh mengatur adat
istiadatnya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengana adat istiadat Kerajaan
Rambah.
3.Boleh menyusun pemerintahan sendiri sepanjang tidak
menentang Karajaan Rambah
4.Sultan Perempuan mengadakan hubungan baik dengan
kerajaan Rambah dan menantang semua musuh dari luar
5.Sutan Perempuan tidak boleh mengadakan hubungan
keluar kecuali dengan kerajaan Rambah dan kalaupun ada hubungan keluar harus
melalui Raja Rambah.
Perjanjian antara Raja Rambah dengan Sultan Perempuan
di Batang Samo, Batang Samo sendiri artinya karena kedua kerajaan ini sama-sama
bertemu di sungai dan sama-sama mencari kayu dan disitu didirikan
perkampungan untuk Sutan Perempuan (Mandailing). Perjanjian antara Raja
Rambah dengan Sultan Perempuan berbunyi :
1.Sultan Perempuan diberi hak untuk dapat menggunakan
atau memakai tanah disebelah barat sepanjang bukit barisan yang mana sekarang
ini ditempati oleh orang Lubuk secara tidak sah.
2.Sutan Perempuan diberi hak untuk mengusir seluruh
orang Lubuk
3.Sultan Perempuan diberi hak pula untuk membangun
negeri, dan dibenarkan membina dan mengurus rombongan yang dibawa dari Tapanuli
Selatan.
4.Sultan Perempuan boleh mengatur dan mendirikan adat
istiadat sendiri dan boleh memakai pakaian adat Mandailing berhak memakai
pakaian kuning bagi Raja Mandailing.
5.Tidak boleh serang menyerang antara kerajaan Rambah
dan rombongan Sutan Perempuan dan apabila Kerajaan Rambah diserang dari luar
supaya Sutan Perempuan dan rakyatnya membantu Raja Rambah. Dan apabila orang
Mandailing diserang dari luar tidak mewajibkan Raja Rambah ikut membantu.
Pada saat terjadi peperangan di Kubu Pauh, Kubu
Patembang dan Kubu Baru dibuatlah perjanjian antara etnis Mandailing dan etnis
Melayu (Raja Rambah) yaitu :
Rombongan Sutan Perempuan diberi nama Napitu Huta
(Sutan Na Opat Mangaraja Natolu, dan Nan Beratur, Mangaraja Marbaris) dimana
diberi sutan atau mangaraja dan menjadi raja/kepala kerapatan/hulu sembah
negeri masing-masing dan diberi hak kekuasaan.
1.Boleh menghukum atau mengadili di negerinya
2.Boleh berhubungan dengan luar
3.Boleh mengambil hasil daerah
4.Boleh mengatur adat istiadat sendiri yaitu adat
jujuran
5.Boleh menggunakan/memakai pakaian adat Raja
Mandailing pakaian warna kuning.
Pada masa Raja Tengku Ibrahim gelar raja yang dipertuan
besar diberilah gelar atau hak bagi setiap kampung yaitu :
1.Kubu Baru atau Batang Samo pembesarnya bergelar Laut
Api/Sutan Na Lobi, Sutan Mangamar bagi Batang Samo.
2.Haiti dengan kebesaran Sutan Tuah disitu berganti
dengan Sutan Laut Api
3.Menaming dengan kebesaran Sutan Kumalo Bulan,
kemudian Tangun disitu Sutan Silindung
4.Pawan dengan Mangaraja Timbalan
5.Tanjung Berani dengan gelar Mangaraja Timbalan
6.Sungai Pinang dengan gelar Mangaraja Timbalan
Sutan Mangatur, Mangaraja Berbaris adalah :
1.Sigatal kepala adatnya Sutan Bongsu
2.Gunung Intan kepala adatnya Sutan Mangabar/Sutan
Simawal
3.Huta Lolot Tangun kepala adatnya Sutan
Mangabar/Sutan Palembang
4.Huta Padang Tangun kepala adatnya Sutan
Badullah/Mangaraja Kayo
5.Langgar Payung kepala adatnya Sutan Guru
6.Rambahan kepala adatnya Said mangaraja/Said Johor
7.Muara Katogan kepala adatnya Sutan Mongol/Sutan
Perempuan
8.Haiti Hilir kepala adatnya Sutan Kumalo Gunung
9.Sungai Salak kepala adatnya Ja salindung/Ja Bangun
10.Ujung Padang Tangun kepala adatnya Mengaraja
Lembang/Mangaraja Kayo
11.Janji Raja kepala adatnya mangaraja
Khotib/mangaraja Putih
12.Kepala Bondar kepala adatnya Mangaraja
Malim/Mangaraja Harang.
Dimana setiap Sutan tadi harus berinduk sehingga
adalah aturan di dalam suku Mandailing dimana Sutan Na Opat, Mangaraja Na Tolu
berbapak atau berinduk kepada Sultan Mahmud, kemudian Sutan Maratur Marbaris
berinduk kepada sutan laut api, dan setiap kampung itu yang berdiri di Napitu
Huta tunduk kepada sutan atau mangaraja yang ada di daerah tersebut.
Sementara sejarah kedatangan Mandailing menurut Bapak
Doli Siregar di Janji Raja. Kedatangan etnis Mandailing memiliki priode-priode
yaitu Tambusai selama empat puluh tahun, Rambah Samo, dan terakhir sampai di
Haiti.
Berdasarkan Tokoh masyarakat M. Nur Daulay etnis
Mandailing datang ke Rokan Hulu kira-kira enam ratus tahun. Berkelompok semua
tujuh suku datang dari Tapanuli Selatan karena peperangan di Siantar perang
saudara gara-gara tuan boru menghancurkan dan membakar kampung-kampung
dan rumah-rumah kemudian etnis Mandailing ini menyingkir dan lari ke Riau yang
bermukim di Bukit Rurang, Sosa (Muara Kacang Kolot) Gunung Simbaktor,
Gunung Simarawo-rawo.
Sementara tokoh masyarakat Yacub Siregar menyatakan
pada awalnya etnis Mandailing masuk daerah Rokan Hulu sebelum perang Paderi
berlangsung.
•Etnis Jawa
Etnis Jawa datang ke Rokan Hulu didasarkan pada
program transmigrasi dan ada juga yang merantau sendiri-sendiri seperti ada
yang datang dari Medan (Sumatera Utara) yang merupakan bawaan tentara Jepang
yang dijadikan kuli atau buruh kontrak, berhubung tentara Belanda keluar dari
Rokan Hulu dan adanya informasi tanah yang tidak bertuan, ada juga etnis yang
datang ke Rokan Hulu sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok yang terdiri
dari lima orang atau empat orang (kelompok kecil) sebagian besar dari Jawa
Timur, Pacitan. Informasi di daerah dari kerabat-kerabat pada tahun 1995 etnis
Jawa sudah datang ke Rokan Hulu. Pada saat gerakan PRRI pada tahun 1958 etnis
Jawa sudah membuat suatu perkampungan di kawasan Rokan Hulu yang disebut dengan
Kampung Jawa.
Pemukiman tiap-tiap etnis pada saat ini dapat
dikatakan sudah terjadi pembauran yang cukup besar, hal ini terjadi karena
beberapa faktor diaantaranya semakin kompleksnya kebutuhan atau
kepentingan-kepentingan dari etnis-etnis yang ada, faktor ekonomi, hubungan
sosial masyarakat, transportasi dan komunikasi walaupun demikian masih terdapat
pemukiman-pemukiman yang dominan oleh etnis-etnis tertentu.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Adat
istiadat merupakan salah
satu perekat sosial
dalam kehidupan berbangsa, khususnya
dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara
kepulauan dan terdiri dari masyarakat yang beraneka ragam suku, budaya, agama
serta mempunyai adat istiadat yang berbeda-beda. Namun mereka tetap bersatu di
dalam kebhinekaannya menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Republik
Indonesia. Dan pembauran masyarakat merupakan suatu keniscayaan seiring dengan
proses perubahan di berbagai aspek kehidupan yang disebabkan oleh adanya
migrasi penduduk dari berbagai suku yang datang ke Kecamatan Tambusai.
Rambah yang awalnya merupakan kerajaan dan
berkembang menjadi Kecamatan tentunya juga mengalami perubahan dari segi adat
istiadat di mana yang awalnya adat istiadat yang ada hanya merupakan budaya
suku Melayu bertambah dengan datangnya suku Mandailing dan suku Jawa didasarkan pada program transmigrasi dan ada juga yang
merantau sendiri-sendiri seperti ada yang datang dari Medan (Sumatera Utara).
Sedangkan Asal mula Kerajaan Rambah
berdiri dikarenakan saat Tengku Raja Muda meminta kepada ayahnya untuk
mendirikan sebuah kerajaan sendiri. Dengan beberapa perjanjian. Dahulunya
Wilayah Kerajaan Rambah masuk ke dalam Wilayah Kerajaan Tambusai yang merupakan
kerajaan terbesar di Rokan Hulu. Saat itu Kerajaan Tambusai dipimpin oleh Yang
Dipertuan Tua. Yang Dipertuan Tua mempunyai tiga orang adik, dua orang
laki-laki dan seorang perempuan. Yang Perempuan bernama Siti Dualam, dan
laki-laki Tengku Raja Muda dan Yang Dipertuan Akhir Zaman.
3.2. Saran-saran
1.
Adapun saran-saran yang ingin penulis
kemukakan yaitu sebagai berikut:
2.
Amalgamasi yang terjadi di Kecamatan Tambusai diharapkan
lebihdapat menumbuhkan sikap toleransi dan bisa memahami etnis dan budaya lain
agar tercipta kedamaian dan kerukunan di dalam kehidupan rumah tangga dan
masyarakat.
- Asimilasi dan
akulturasi yang terjalin dan terbina di dalam kehidupan lembaga masyarakat
maupun di dalam lembaga keluarga tetap dipertahankan kemudian diharapkan
lebih menumbuhkan kesadaran, kepercayaan, dan sikap keterbukaan yang
tinggi lagi agar selalu tercipta kehidupan yang harmonis dan baik.
- Masyarakat Kecamatan Rambah Kabupaten Rokan Hulu,
harus lebih meningkatkan partisipasi di dalam pembauran masyarakat yang
multietnis di dalam berbagai aspek
5.
Amal gamasi, asimilasi, dan akulturasi.
Guna menghindari timbulnya prasangka negatif yang berlebihan.
S1288poker Agen Poker Terpercaya No 1 di Indonesia.
ReplyDeleteAyo rasakan bermain Poker Online Uang Asli, dengan kualitas server terbaik di Indonesia, serta tampilan terbaru.
S1288poker, Agen Poker yang akan memberikan jaminan keamanan dalam bermain Poker Online tanpa robot.
Kami akan dengan senantiasa selalu memberikan pelayanan terbaik selama 24 jam setiap harinya. (PIN BBM : 7AC8D76B)